Tanjung Binga; Surga Ikan Asin Ada di Sana – Oleh: Donny Fernando*
“Semakin amis desa kami, semakin makmur kami tandanya”, ujar Irwan di kapal bagannya, saat menunggu jaring yang diturunkan.
Irwan adalah kapten kapal keturunan Bugis yang merantau sampai titik berlabuh akhirnya, yaitu Tanjung Binga. Tanjung Binga sendiri adalah salah salah satu tempat persinggahan suku Bugis yang menetap sekian tahun. Komoditi terbesar desa tersebut adalah ikan asin. Tak tanggung-tanggung, ikan asin yang dihasilkan oleh desa di Belitung ini memiliki pamor tersendiri. Tak hanya dikirim dan tersebar ke beberapa bagian di Indonesia seperti Jakarta, Pontianak, dan Medan, beberapa negara tertarik dengan cita rasa ikan asin ini, contohnya Tiongkok. Tak heran jika desa ini disebut sebagai salah satu desa penghasil ikan asin terbesar di Indonesia.
Proses penangkapan ikan untuk diolah menjadi ikan asin masih menggunakan teknik yang tradisional dan tidak merugikan ekosistem laut. Penggunaan cantrang menjadi larangan di sana, dikarenakan dapat merusak ekosistem laut di mana cantrang tersebut digunakan. Sebaliknya, penduduk Tanjung Binga menggunakan jaring tanam atau waring. Waring ditenggelamkan secara manual sampai menyentuh dasar laut di titik kedalaman tertentu, kemudian anak buah kapal akan menunggu sekitar 1 jam dan mematikan lampu kapal, agar jaring berbaur dengan dasar laut.
“Inilah cara yang diajarkan kakek kami pada kami, jadi ini yang kami teruskan,” sebut Irwan.
Mereka biasanya melaut selama tiga malam, kadang hanya satu malam. Lamanya mereka melaut sesuai dengan cuaca, musim, dan kondisi bulan pada malam hari.
“Kalau bulan terang kami tentu ndak begitu lama di laut, sia-sia juga ndak ada ikan banyak. Musim angin barat juga kami ndak melaut jauh”, jelas Irwan.
Ikan tangkapan biasanya langsung digaramkan di kapal agar proses penggaraman sudah dilakukan lebih awal. Ikan yang sudah digaramkan kemudian dibilas di darat. Khusus untuk ikan teri, ikan tersebut direbus dahulu, berbeda dengan ikan lainnya. Ikan yang dijadikan ikan asin pun beragam, dimulai dari ikan jenis Laisi, teri hitam, teri putih, cumi kecil, sampai ikan sepat.
“Kami ini bergantung sama hasil laut, tinggal di dekat laut, ya laut sudah jadi bagian dari kami lah”, sahut Ibu Alia.
Ikan asin dijemur dengan cuaca terik selama dua hari. Apabila mendung atau hujan mulai turun, ikan tersebut harus disimpan dalam plastik agar terhindar dari kelembaban berlebih sehingga menimbulkan cacing. Sebagai salah satu komoditi penghasil cita rasa kuliner yang unik, ikan asin memiliki pamor tersendiri. Rasa gurih yang dihasilkan oleh ikan asin, serta sebagai pendamping beberapa hidangan khas membuat ikan asin tetap diminati di dunia kuliner dan masyarakat itu sendiri.
*Donny Fernando merupakan seorang multimedia journalist yang bekerja di The Jakarta Post. Lahir di Tanjungpandan Belitung pada 28 April 1995, Donny pergi meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolahnya dengan merantau ke Jakarta pada tahun 2010. Donny menyelesaikan studi S1 di Universitas Multimedia Nusantara program studi Ilmu Komunikasi, jurusan jurnalistik.