Menyambung Nada di Tengah Pandemi

Menyambung Nada di Tengah PandemiOleh: Indra Abriyanto

Kelap-kelip lampu dari panggung menyinari wajah biduan dangdut, pemain musik, hingga para penonton. Musik khas Indonesia melantun indah, memantik penonton bergoyang riang. Suara cengkok khas biduan dangdut memberi roh pada meriahnya malam di resepsi pernikahan.

Gambaran suasana itu terjadi sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia pada awal Maret 2020. Imbas pandemi ini membuat biduan dangdut meringkih. Tak ada lagi malam-malam gempita di resepsi pernikahan. Lantaran pemilik hajatan menunda bahkan membatalkan pesta. Nindra A.N (41), perempuan yang berprofesi sebagai biduan pun harus memutar otak agar dapur tetap mengepul.    

“Terakhir main bulan dua, awal bulan tiga semuanya ter-cancel,” cerita Nindra saat ditemui di rumahnya.

Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat, ada 474.086 pekerja di Sulsel. Dari data tersebut, tenaga kerja aktif bukan penerima upah atau tergolong informal sebanyak 6,88 persen. Tentu saja, termasuk Nindra dan rekan-rekannya. Tak ada harapan untuk menerima insentif Rp600 ribu per bulan.

Meski begitu, harapan tak boleh padam. Tampil dalam hingar bingar panggung dangdut berpindah ke dapur. Nindra pantang menyerah. Ibu tiga anak itu mengolah makanan berupa sayap ayam asam pedas manis di rumahnya di Pannampu, Kecamatan Tallo, Makassar. Dia menjual kuliner itu Rp10 ribu per porsi. Per bulan, dia mampu menghasilkan keuntungan sekitar Rp200 ribu. Pendapatan itu memang sangat kecil untuk mencukupi kebutuhan susu formula satu anaknya yang masih balita. Pun untuk jajan kedua anaknya yang lain.

“Putus asa sebenarnya ini, anak masih kecilk, kalau minta uang nggak enak kalau bilang tidak ada.” ucap Nindra sembari meneteskan air mata.

Upaya Nindra menjajakan dagangan sayap ayam tak semulus yang diharapkan. Meski sudah rajin berjualan lewat akun media sosial miliknya, tak setiap hari pembeli datang. Karena itu, kerugian tak bisa dia elak. “30 ribu satu hari, kadang juga tidak ada. Kadang tinggal rugi di modal” cerita Nindra.

Di tengah ceritanya itu, dia mengenang saat-saat manis sebelum Covid-19 menjangkiti Indonesia. Kala itu, permintaan manggung begitu banyak. Maklum, Nindra dan grup musiknya cukup dikenal dengan kualitas mumpuni. Dalam sebulan, kata Nindra, dia bisa tampil di 5 lokasi berbeda dengan pendapatan Rp300 ribu per sekali tampil. Bahkan, ketika dia diundang khusus keluar daerah, bayaran bisa melambung hingga Rp1 juta per panggung. Total pendapatan yang bisa diraihnya per bulan berada di kisaran Rp3 juta.

“Untung tidak ada cicilan. Coba ada cicilan, hancur, diambil semua barangku, karena tidak ada pemasukan,“ keluhnya.

Indra Abriyanto, lahir di Ujung Pandang 6 Oktober 1996. Menyukai fotografi sejak SMK. Lulusan Universitas Fajar Makassar pernah mengikuti kelas regular di Galeri Foto Jurnalistik Antara Makassar dengan tugas pameran kolektif berjudul “Emas Hitam Di Wonocolo”. Karyanya juga beberapa kali pernah menyabet penghargaan nasional.

Kini Indra bekerja sebagai pewarta foto harian lokal, Rakyat Sulsel di Makassar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *