
Oleh: Aprillio Akbar
Dalam dunia yang terus digerakkan oleh citra visual, fotografi tidak sekadar menjadi sarana dokumentasi, tetapi dapat berperan sebagai alat perubahan sosial yang kritis dan transformatif. Kritik terhadap praktik fotografi yang cenderung objektifikatif memang penting, namun menyerukan penghancuran kamera justru berisiko mengabaikan potensi etis dan politis yang melekat dalam praktik visual yang sadar konteks.
Kamera bukan musuh, melainkan alat yang keberpihakannya ditentukan oleh cara ia digunakan. Ketika fotografer membangun relasi partisipatif dengan subjek dan menyadari posisi serta privilese mereka, maka fotografi dapat menjadi ruang perjuangan bersama—bukan sekadar alat pandang dari luar, tetapi jendela menuju pemahaman, solidaritas, dan advokasi.
Alih-alih mereduksi kamera sebagai simbol kekuasaan sepihak, pendekatan fotografi yang reflektif dan kolaboratif justru mampu menggugat struktur dominasi dan memperkuat suara-suara yang lama terpinggirkan. Dalam konteks ini, fotografer tidak lagi sekadar ‘mengambil gambar’, tetapi hadir sebagai pendengar dan saksi yang terlibat. Fotografi menjadi medan etik, di mana narasi yang diciptakan mampu memperluas empati dan mendorong tindakan kolektif.
Maka, tantangan kita bukan menghancurkan kamera, tetapi memaknai ulang cara menggunakannya—sebagai alat perjuangan, bukan penindasan.
Seperti yang dikatakan Susan Sontag dalam On Photography (1977), “To photograph is to appropriate the thing photographed,”—maka tugas fotografer etis adalah tidak hanya mengambil, tetapi mengembalikan makna dan martabat pada subjek. Sementara John Berger dalam Ways of Seeing (1972) menekankan bahwa melihat adalah proses politis; setiap citra membawa ideologi, dan dalam konteks fotografi dokumenter, pilihan apa yang ditampilkan dan disembunyikan menjadi bagian dari narasi yang dibentuk.
Oleh karena itu, fotografi bukanlah tindakan netral, tetapi memiliki potensi menjadi ruang pembacaan ulang terhadap ketimpangan sosial.
Dalam konteks tersebut, pewarta foto hadir sebagai garda terdepan perubahan sosial. Mereka berada di titik paling dekat dengan realitas—di jalanan, di lokasi bencana, di tengah konflik, dan dalam ruang-ruang keseharian yang sering luput dari perhatian publik. Lewat keberanian mereka mengangkat suara yang dibungkam, menampilkan wajah-wajah yang tersembunyi, dan mendokumentasikan ketimpangan secara jujur, pewarta foto menjadi agen perubahan yang tak hanya mengabarkan, tetapi juga menggugah.
Foto-foto karya pewarta foto Kompas Julian Sihombing saat kerusuhan 1998, pewarta foto Kantor Berita ANTARA Saptono yang mengabadikan momen reformasi, hingga pewarta foto Kompas Agus Susanto dengan citra ikonik kasus korupsi pajak Gayus Tambunan—semua membuktikan bahwa foto bisa menjadi saksi sejarah dan pemantik kesadaran kolektif.
Pewarta foto, dengan seluruh risiko dan tanggung jawabnya, tak sekadar merekam peristiwa, tetapi menjadi bagian dari perlawanan terhadap lupa dan ketidakadilan.
Pewarta foto Indonesia bekerja dalam bingkai etika yang jelas dan penuh pertimbangan. Dalam Kode Etik Pewarta Foto Indonesia yang disahkan dalam Rapat Pleno Kongres VII Pewarta Foto Indonesia di Jakarta, Pasal 2 menyatakan:
“Pewarta foto menjunjung tinggi dan menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi visual dalam karya foto jurnalistik yang jujur, kritis, berimbang, tidak beritikad buruk, dan bertanggung jawab.”
Itu adalah prinsip yang tidak main-main. Foto jurnalistik bukan alat propaganda, bukan pula komoditas emosi murahan. Ia adalah bentuk tanggung jawab publik yang lahir dari integritas dan kepekaan.
Lalu, dalam Pasal 5 ditegaskan:
“Pewarta foto menghormati dan menjunjung tinggi kepentingan umum dengan tidak mengabaikan kehidupan pribadi narasumber, serta mengedepankan asas praduga tak bersalah.”
Artinya, setiap pengambilan gambar adalah dialog antara rasa dan etika. Setiap bidikan mempertimbangkan tidak hanya apa yang terlihat, tetapi juga dampak dari yang disajikan.
Pewarta foto memang ikut membentuk cara publik melihat dunia, namun mereka melakukannya dengan keberanian, kedekatan, dan pertimbangan yang tidak kasatmata. Mereka ada di lokasi saat orang lain memilih berpaling. Mereka menekan shutter saat dunia sedang rapuh, bukan demi sensasi, tapi demi memastikan cerita tidak hilang begitu saja.
Jadi, ketika para “nabi” di negeri seberang terus menyampaikan khotbah tentang bagaimana seharusnya kamera diarahkan, ada baiknya mereka juga mengingat satu hal: terkadang keheningan dan kerendahan hati lebih bijak daripada penilaian yang dilontarkan tanpa pernah berada di tempat kejadian.
*Aprillio Akbar Pewarta Foto LKBN Antara
