Pada 11 Maret 2020, WHO mendeklarasikan virus Covid-19 sebagai pandemi. Sejak itu peradaban dunia mengalami gejolak luar biasa. Goncangan yang tak pernah dialami generasi pasca PD II sampai para millenials dewasa ini. Dari lintang dan bujur bumi. Di metropolis dan pedalaman. Bahkan di benua ketujuhpun, Antartika; virus
itu tetap memperlihatkan kebengisannya. Sejak malam tahun baru 2020 di Wuhan, covid telah memapar 121 juta warga dunia. Seraya mencabut lebih dari 2,67 juta nyawa di antaranya.
Dunia terperanjat setengah mati. Belantara medikal yang canggih, terpana dalam sengatan dan sorot dunia. Pers internasional juga tergagap-gagap melaporkannya. Fotografi jurnalistik seperti kehilangan nafas dan meraba- raba tonggak acuan reportase. Panitia Olimpiade Tokyo terpaksa menunda perhelatan mereka. Dunia showbiz dan hiburan rontok. Untuk perdana ibadah keagamaan dilakukan secara daring.
Kesimpangsiuran berita, bercampur dengan informasi medis yang berubah-ubah, termasuk yang juga dirilis oleh WHO. Membuat fotografi jurnalistik sekonyong-konyong berada dalam satu belanga raksasa bersama-sama dengan industri hoax yang menebar racun berbisa yang tak kalah mematikannya ketimbang Covid-19 itu sendiri.
Dalam kondisi prokes yang ketat. Di tengah rivalitas dunia farmasi yang tengah berkompetisi meracik ramuan anti-Covid, dunia fotografi jurnalistik tetap melaporkan pemberitaan dari garis depan. Sebentuk kesaksian yang harus terus diemban misi dan amanatnya. Hari-hari
ini, dalam suasana yang secara laten mulai menampakkan percik harapan. Pelaksanaan vaksinasi mulai dilaksanakan di seantero tanah air.
Dalam suasana demikian, panitia perhelatan APFI Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) memutuskan menggelar penjurian acara yang telah menjadi cap serta barometer penting fotografi jurnalistik di tanah air. Dalam suasana pandemi, perkembangan dunia fotografi “deep fake” dan aplikasi-aplikasi aneka kepalsuan lainnya terus hadir dan mewarnai belantara virus-virus teknologi lainnya. Keberadaan dunia
fotografi jurnalistik yang selama ini menjadi referensi kebenaran sekarang berada dalam tantangan besar.
Dalam relevansi itu, penjurian diselenggarakan di kawasan Jakarta Selatan. Meskipun diselingi debat seru yang sengit di sana-sini, namun proses penjurian berlangsung hangat dan penuh kekeluargaan. Dewan Juri Anugerah Pewarta Foto Indonesia (PFI) akhirnya berhasil menuntaskan amanat tahunan institusi ini. Ritual penjurian yang dilangsungkan secara maraton ini, sekaligus melaksanakan dua penilaian untuk dua periode kompetisi, yakni APFI 2019 dan 2020.
Pandemi Covid-19 menjadi alasan panitia untuk memundurkan jadwal perhelatan APFI tahun 2019. Dewan juri untuk dua periode anugerah tersebut adalah Eny Nuraheni,
Desi Fitriani, Agus Susanto, Arief Suhardiman serta Oscar Motuloh (Ketua). Dewan juri telah menetapkan 26 pemenang dari enam kategori kompetisi (tunggal dan cerita serta foto terbaik tahunan APFI) ditambah satu pemenang dari kategori foto jurnalis warga untuk dua tahun penyelenggaraan APFI.
Puncak dari penjurian adalah memutuskan foto terbaik tahunan (Photo of the Year) APFI 2019
dan APFI 2020. Sesuai dengan ketentuan panitia, maka foto terbaik tahunan dipilih atau dicuplik dari masing pemenang di setiap kategori. Pemilihan Foto Tahunan Terbaik APFI merupakan sebentuk misi. Misi yang tak sekadar memilih foto terbaik secara kualitas dan berbobot secara jurnalistik belaka. Namun juga mewakili suara para pewarta foto setanah air atas resume dari refleksi peristiwa terpenting sepanjang tahun.
Foto terbaik APFI 2019, adalah karya pewarta foto Mugni Supardi. Imaji tentang kondisi banjir bandang yang menghanyutkan jiwa, rumah dan harta benda. Foto yang memperlihatkan mimik ketakutan seorang bocah yang mempertahankan diri dengan memegang kursi besar di tengah banjir bandang yang dahsyat nan mengerikan.
Imaji yang dipetik Mugni sebagai pemenang kategori foto Spot tunggal terbaik itu jelas menghadirkan emosi yang tak melulu menggambarkan penderitaan dan bencana.
Penjurian yang dilakukan berbulan-bulan setelah peristiwa berlangsung mengendapkan emosi dan subyektivitas Dewan Juri untuk menatap refleksi sebagai perlambang dari sejumlah peristiwa, termasuk pilkada serentak di tanah air.
Kursi dan genggaman anak dalam marabahaya, jelas menjadi simbol misi kemanusiaan yang halus. Dewan Juri sepakat melihat imaji tersebut sebagai peringatan atas dekadensi perpolitikan kita di tanah air. Pesan yang tertuang seperti derasnya arus lumpur dalam foto itu.
Politik gurem dan kampanye kebencian adalah bencana penghancur masa depan Indonesia. Masa depan terwakili oleh teriakan nyaring bocah yang membutuhkan pertolongan.
Setidaknya dua pertanyaan yang terungkap dari sana. Pertama dapatkah kursi jabatan itu menyelamatkan sang bocah yang nota bene adalah perwakilan dari generasi masa depan? Atau pertanyaan kedua, kemana sang pejabat saat rakyat membutuhkannya?
Sementara foto terbaik APFI 2020 adalah karya pewarta foto Givo Alputra. Imaji itu diberi
tajuk, Lahir di Tengah Pandemi. Karya Givo itu merupakan pemenang dalam kategori General News (tunggal). Tahun 2020 adalah tahun yang secara peristiwa ditandai dengan Covid-19 sebagai biang kerok peristiwa.
Banyak kategori dalam APFI 2020 tersebut materinya berkaitan dengan Covid. Kita dapat mengamati beragam pendekatan baik foto tunggal ataupun cerita yang relevan dengan sang bintang antagonis itu. Kisah visual yang dramatis. Termasuk tentang cerita dari para penggali kubur korban covid. Serta peristiwa- peristiwa kekerasan, bencana, kecelakaan serta kisah-kisah humanis yang menyentuh.
Dalam endapan waktu, Dewan Juri beranjak mengutamakan metafora covid dari sisinya yang lain. Menggunakan pendekatan tersebut, maka tema kehidupan adalah pilihan. Ketimbang menyimak simbol kematian yang pada periode awal pandemi menjadi perhatian utama. Kita miris menyaksikan deret ukur para dokter dan nakes yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi melawan virus mematikan ini.
Berpijak pada masa depan, maka kelahiran sesosok bayi di tengah pandemi menjadi
simbol harapan. Dewan Juri telah memperoleh dua simbol masa depan. Perlambang yang tergambarkan dari wajah seorang bocah di tengah mara bahaya, dan sesosok bayi mungil yang tampak tenang. Dengan wajah teduh
sang bayi menikmati dekapan cinta seorang nakes. Wajah mungilnya menandakan harapan. Demi itulah fotografi jurnalistik hadir untuk menyuarakan tak hanya derita namun juga kabar bahagia bagi dunia.
Oscar Motuloh
a/n Dewan Juri APFI