BALUTAN HALUS EKSPLOITASI DI BALIK HIBURAN TOPENG MONYET

1-RANA-JUNI-Aditya-Aji

Image 1 of 10

Oleh: Aditya Aji Saputra | PFI Bogor

   Seekor monyet terlihat berdiri sambil bersandar di pintu angkutan kota yang sedang melintas di sebuah jalan di Bogor, dalam kondisi leher diikat rantai monyet itu terus memandangi aspal jalan sambil terus memegang rantai yang mengikat lehernya, di atas kursi penumpangg terlihat lelaki paruh baya yang memegang ujung rantai sebagai juru kendali atau pawang.

  Melihat pemandangan tersebut memberitaukan bahwa keberadaan topeng monyet yang beberapa tahun terakhir sempat ditertibkan dari setiap jalanan di pusat kota itu rupanya masih ada, seperti diketahui sejak sekitar tahun 2010 banyak aktivis hewan yang menentang kegiatan topeng monyet karena dianggap sebagai ekploitasi hewan.

  Keberadaan binatang primata tersebut tidak seharusnya dieksploitasi dengan paksaan untuk berperan sebagai pemain sirkus.Melihat kepedulian aktivis dan para pecinta hewan ini sangat tinggi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga turut memberikan kepeduliannya dengan menertibkan dan melarang pertunjukan topeng monyet, aksi topeng monyet yang kita sering lihat di trafick light atau persimpangan jalan pun kini sudah tak ada lagi.

  Melihat seekor monyet di dalam angkutan umum itu pun menepis ketidak adaannya atraksi topeng monyet, karena para pelatih sirkus dadakan tersebut masih melakukan kegiatan eksploitasi monyet.

  Dari sana kemudian saya ingin tau lebih dalam tentang aktivitas topeng monyet, seperti apa cara memperlakukan monyet itu sendiri.

    Secara perlahan mencoba mengikuti topeng monyet tersebut yang turun disebuah pemukiman penduduk, saya langsung menghampiri dua orang yang turun dari angkot sambil memikul alat music dan beberapa alat pentas yang sering digunakan untuk atraksi topeng monyet sambil menuntun monyet yang terikat rantai.

   Saya coba menyapa dan berkenalan dengan mereka untuk sedikit bertanya tanya tentang topeng monyet, awalnya mereka sedikit ada penolakan dan tidak ingin didekati, saya coba untuk meyakinkna bahwa saya hanya ingin bertanya tanya, ahirnya mereka coba untuk menerima kehadiran saya.

    Setelah melakukan sedikit pendekatan ahirnya mereka mau menerima dan saya pun menjelaskan apa niat saya,  saya menjelaskan bahwa saya ingin mengikuti kegiatan mereka dan memotret monyet saat pentas, mereka pun sedikit mengelak “ boleh tapi muka kita jangan ikut di foto ya “, pungkas mereka sedikit keras.

   Dari situ saya menilai bahwa mereka para pemilik topeng monyet sudah cukup menyadari bahwa kegiatan mereka banyak menuai protes, namun pekerjaan itu mereka lakukan hanya untuk menyambung hidup.

   Saya melanjutkan untuk mengikuti kegiatan mereka, suara gamelan dan kendang pun mulai dibunyikan, tetiba anak anak mulai berdatangan dari beberpa sudut perkampungan dan mereka berkumpul dengan antusias dan ada pula yang sedikit takut untuk menyaksikan aksi pertunjukan topeng monyet.

   Terlihat anak- anak mulai berkumpul sang pawang langsung memulai pertunjukan penonton bersorak dan tertawa melihat keseruan dan aksi  se-ekor kera yang berbalut topeng manusia dan menggunakan baju seperti manusia dengan leher yang dikait rantai beratraksi diiringi suara gamelan dan gendang, terkadang sang pawang menyentak rantai yang mengikat pada monyet untuk mengendalikan monyet saat pentas dan leher monyet pun ikut tersentak.

    Usai pertunjukan yang dikakukan kurang lebih 15 menit itu Kemudian sang pawang berkeliling membawa ember kecil untuk meminta saweran sukarela kepada  penonton yang kebanyakan anak- anak. 

  Setelah pertunjukan saya secara perlahan perlahan mendekati rombongan topeng monyet untuk diajak bernegosiasi agar bisa dan mau menunjukan dan bercerita tentang kegiatannya itu.Setelah setuju sang pawang atau majikan monyet tersebut mau mengajak saya untuk mampir ke kediamannya lain hari.

Pria paruh baya tersebut atau yang akrab di panggil Jafar bercerita sudah 36 tahun berprofesi sebagai pawang topeng monyet, dia beralasan hal itu dilakukan karena ekonomi, “Karena tidak ada kerjaan lain, dan kebutuhan untuk hidup jadi terpaksa,”katanya.

Jafar mengaku semua karena kebutuhan ekonomi dan hanya menjadi pawang topeng monyet yang bisa di lakukan, selama 36 tahun sudah 4 monyet yang menemani ia berkeliling, dengan jangka waktu rata rata sampai 9 tahun kebanyakan monyet yang dia miliki meninggal karena usia.

Monyet yang dilatih ini adalah monyet ke-4 yang dipaksa menjadi topeng monyet. Sedangkan ketiga monyet lainya sudah mati karena sakit dan sudah tua, Biasanya para majikan topeng monyet ini mencari monyet dari para penjual yang tempatnya tidak bisa disebutkan oleh jafar.

Monyet yang dibeli kemudian dilatih dan diajari beberpa Gerakan dan pertunjukan hingga nantinya monyet itu siap untuk dibawa berkeliling untuk pentas.

Untuk makanan, pawang monyet selalu memberi makanan di jam yang sudah di tentukan terutama saat akan melakukan pentas.

“Setiap hari makan satu kepal nasi sebelum berangkat, kemudian di jalan suka ada yang ngasih buah-buahan,” katanya.

Sedangkan untuk penghasilan yang di dapat pun tidak sesuai denga napa yang mereka lakukan, setiap harinya mereka hanya mendapatkan uang kurang lebih Rp 100.000 setelah pekerjaan yang mereka lakukan dengan berkeliling di perkomplekan rumah mulai dari pagi hingga sore hari.

Di Indonesia setiap kegiatan eksploitasi terhadap hewan jelas sangat dilarang.Aturan itu tertuang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 302 yang mengatur Tentang Tindakan Penyiksaan Hewan, selain itu, ada pula Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Pasal 66 ayat (2).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *