Dendam Damai – oleh: Raudhatul Jumala*
“Tak habis pikir, kenapa ada orang yang senang membunuh, senang melihat anak-anak kami menjadi yatim. Saya tidak mau melihat kebelakang, tidak mau ini terjadi lagi, sudah cukup sakit hati, saya juga sempat disiksa, untuk mengakui suami saya terlibat “cuak” mata-mata oleh GAM”, ujar Aminah Mahmud (54), warga saat menceritakan pengalamannya saat darurat militer diberlakukan di Aceh.
Kebijakan represif di Aceh sejak tahun 1976 sampai tahun 2004 menimbulkan beragam kekerasan dan pelanggaran HAM, seperti pembunuhan, penyerangan terhadap warga sipil, penghilangan orang secara paksa, sampai kekerasan seksual. Bahkan hingga kini beragam kasus tersebut belum tuntas dan tidak pernah dinyatakan adanya pelanggaran HAM berat oleh negara, sehingga korban tidak pernah menerima hak-nya.
Konflik Aceh kembali memanas ketika Presiden Megawati Soekranoputri menetapkan Aceh sebagai daerah Darurat Militer (DM) hingga darurat sipil selama periode 2003-2005. Dalam Kisruh antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), penyiksaan yang diterima oleh warga sipil yakni dari kedua belah pihak yang bertikai yaitu dari aparat militer dan GAM.
Konflik Panjang berakhir di Aceh setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia sepakat Damai di Helsinki, Firlandia, 15 Agustus 2005 silam, dikenal dengan Memorandum of Understanding (Mou) Helsinki. Dampak dari perjanjian Damai Aceh adalah adanya kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat sipil bisa Kembali bekerja.
Tahun 2020 ini, perdamaian Aceh memasuki angka 15 Tahun. Namun rasa trauma belum lepas dari benak korban, meskipun harus berdamai dengan keadaan. “Kenyakinan kepada Tuhan membuat saya bertahan hidup dan saya akan terus berusaha keluar dari ketakutan masa lalu”, ujar Maryam, salah satu korban yang pernah disiksa, dibakar rumahnya, hingga kehilangan sang anak.
–
*Raudhatul Jumala Lahir di Aceh Utara, 20 November 1996 dan besar di Aceh. Saat ini ia sedang menjalankan pendidikan di UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Ketertarikannya pada fotografi dimulai sejak tahun 2015. Ia belajar fotografi secara autodidak dan bergabung dengan beberapa komunitas fotografi di Aceh. Jumala juga berpartisipasi sebagai pameris di InSumatra Festival, dan juga aktif pada organisasi Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh. Baginya, foto cerita adalah keluar dari zona nyaman. Dari menentukan apa yang akan diceritakan, sampai eksekusi yang kadang diluar dugaan.