Asa Tau Samawa – oleh: Ajeng Lestari*
Bagi masyarakat Sumbawa, pacuan kuda atau Maen Jaran adalah jati diri identitas Tau Samawa (rakyat Sumbawa) yang berkaitan dengan perayaan masa panen. Seiring jalannya waktu, tren budaya ini mengalami pergeseran makna menjadi penandaan status sosial dan gaya hidup Tau Samawa.
Dalam ekosistem pacuan, ada anak – anak tangguh yang sedari kecil disatukan jiwanya dengan kuda. Mereka mengakrabi debu, luka, dan keangkuhan kuda-kuda yang ditungganginya, dalam sekali latihan dapat mereka taklukan 10 kuda atau lebih. Pada tahun 2019, kabar duka datang dari Bima seorang joki kecil meninggal dunia akibat kecelakaan pada saat pacuan kuda di Sambi Nae’. Kemudian banyak pihak yang mengecam pacuan kuda dengan joki kecil termasuk LPA NTB yang mengkampanyekan “Stop Pacuan Kuda dengan Joki Kecil”.
Aldian Syah (10), adalah Joki Kecil dari Desa Penyaring, Kabupaten Sumbawa. Aldi dibesarkan oleh kakeknya Abdul Latip (70), karena sejak balita kedua orangtuanya sudah berpisah. Ketika sedang memacu kuda, Aldi tampil sangat maskulin, namun hal itu berubah 180 derajat saat ia ada dirumahnya, Aldi menampilkan sisi feminimitas dengan tugas harian rumahnya seperti memasak, mencuci baju, dan piring. Ia melakukan hal itu atas inisiatifnya sendiri. Hal-hal itu menjadikan Aldi jadi lebih mandiri ketimbang anak seusianya.
“Saya senang masak, dari kelas 3 SD (sekarang kelas 5 SD) saya mulai belajar masak. Makanan kesukaan saya cumi-cumi”, tutur Aldi sambil mempersiapkan makanan untuk Abe. (Kakek dalam bahasa Sumbawa).
Di Sumbawa, profesi sebagai joki bukanlah sebatas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi benar-benar tentang kegemaran pada seekor kuda.
“Waktu kecil Aldi takut naik kuda, sekarang sudah biasa. Habis jatuh dia minta naik lagi”, tutur Abe yang juga berperan sebagai manajer dan sandro (dukun) Aldi.
Kisah Aldi dan Abe-nya, menjadi gambaran anak-anak Desa di Pulau Sumbawa yang berprofesi sebagai joki kecil. Sebagian besar karena terhimpit ekonomi, adapun pro – kontra pelarangan pacuan kuda dengan joki kecil akan berdampak luas pada nasib perekonomian joki kecil dan keluarganya. Dan sesuatu yang sudah membudaya ditengah masyarakat tidak dapat diubah dengan mudah, alternatif untuk kepedulian akan keselamatan joki harus berfokus pada alat pelindung diri (body protector), dan pemerintah daerah / komunitas di Sumbawa membuat peraturan dan undang-undang yang melindungi joki agar Maen Jaran menjadi budaya sekaligus olahraga yang aman.
*Ajeng Lestari lahir di Bekasi, 26 September 1998. Pada tahun 2017 ia merantau ke Pulau Sumbawa untuk menempuh pendidikan bidang Ilmu Komunikasi di Universitas Teknologi Sumbawa. Tahun 2018 ia menggarap personal projek foto cerita berjudul “Sesaji: Pengabdi Lam-Lam” di desa Soki, Belo, Kabupaten Bima. Ketertarikannya dengan dunia Jurnalis Foto tergugah ketika ia membeli buku “Unpublished” terbitan Kompas yang berisikan kumpulan karya foto yang tidak dipublikasikan menginspirasi dirinya. Ajeng menaruh perhatian khusus pada anak-anak desa di Sumbawa dan senang berpartisipasi menjadi relawan peduli literasi.