"Di Bawah Terik, Di Atas Harapan: Perjuangan Petani Garam Kusamba"
Petani garam, menyiram air laut menggunakan timba tradisional ke atas pasir pantai sata proses pembuatan garam. Sejak abad ke-17 warga di Kusamba telah berprofesi sebagai petani garam. Mereka memanfaatkan terik sinar matahari dan hembusan angin laut untuk menguapkan air laut sehingga meninggalkan kristal garam yang siap dipanen.
Oleh: Agoes Rudianto | PFI Solo
Butiran kristal putih asin lahir dari peluh keringat, doa, dan ketekunan yang diwariskan turun temurun lintas generasi para petani garam di Pantai Kusamba, Klungkung, Bali. Namun kini, laut yang dulunya bersahabat mulai berubah tabiat. Dampak kenaikan permukaan air laut dan abrasi pantai semakin nyata terasa.
Dalam beberapa dekade terakhir, garis pantai di wilayah Kusamba telah mundur dari tahun ke tahun. Lahan produksi garam tradisional ada yang terendam atau rusak, memaksa para petani menghentikan produksi sementara waktu bahkan berpindah tempat.
Sebagai respons, pemerintah membangun tanggul beton penahan ombak di beberapa titik rawan abrasi. Namun, keberadaan tanggul ini membawa dampak ganda. Di satu sisi, tanggul melindungi daratan dari hempasan ombak yang terkadang mengganas. Namun di sisi lain, tanggul juga mengubah landskap pantai, aliran air laut dan mengganggu pola kerja tradisional pengambilan air oleh para petani garam. Alih-alih menjadi solusi tunggal, tanggul ini menandai rumitnya pertautan antara infrastruktur modern dan pengetahuan lokal yang telah bertahan ratusan tahun. Di tengah semua ini, perempuan Kusamba terus bekerja. Mereka memikul peran ganda: sebagai penjaga tradisi sekaligus penopang keluarga. Mereka menjemur garam di bawah matahari yang kian menyengat, sambil merawat anak, mengelola kebutuhan rumah, memelihara hewan ternak untuk penghasilan tambahan bahkan bernegosiasi harga garam dengan pembeli. Mereka menghadapi dua tantangan besar sekaligus: perubahan iklim dan peran ganda sebagai perempuan.
