
Oleh: Oscar Motuloh*
Prelude
Makhluk kecil berbulu coklat kelangsatan itu terlelap di bawah selimut berwarna marun. Lampu pijar dipasang untuk menghangatkan tubuh mungilnya. Realita jeruji di latar belakang terlihat seperti mengelilingi mimpi indahnya. Ibarat dalam hikayat kawula rakyat jelata, mimpi adalah sepenggal jeda untuk menikmati sedikit penghiburan dari realita kehidupan yang keras, korup dan hipokrit. Meskipun kita mafhum bahwa konten mimpi tak selamanya indah. Entah berapa saat lagi dia akan terjaga dan menemukan realita yang sesungguhnya. Apa yang terjadi pada dirinya?
Dia adalah seekor bayi lutung (trachypithecus cristatus) yang berhasil diselamatkan dari labirin perdagangan satwa langka nan dilindungi. Polisi menangkap dua pelaku di kota Medan pada penghujung Juli 2024. Dari tangan mereka turut disita beberapa ekor kukang, musang tenggalung, tupai jelarang serta 5 ekor bayi lutung. Lutung menjadi salah satu primata yang amat diburu dalam perdagangan satwa ilegal. Dalam banyak kasus, seperti juga orangutan, pemburu satwa liar tega membunuh induk lutung yang sangat protektif, untuk mendapatkan anaknya.
Imaji emosional karya pewarta foto Saddam Hussein tadi, terpilih menjadi foto pemenang dalam foto tunggal kategori Nature and Environment Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2025. Penilaian Dewan Juri APFI atas foto-foto dari enam kategori kompetisi (tunggal dan cerita) ditambah Photo the Year dan kategori Citizen Journalist, tentu tak terhindarkan dari perspektif muatan dan makna yang berbeda, dibandingkan ketika foto-foto para pemenang itu tampil berbulan-bulan silam, dalam publikasi medianya masing-masing. Karya-karya terpilih tentu yang atmosfernya lebih dari sekadar foto berita, berkedalaman dan memiliki pertalian pesan dengan realita yang tengah berlangsung saat penjurian yang berlangsung.
Juri APFI pada dasarnya memberi penilaian yang utama atas karya timeless namun menyisakan imbas permasalahan yang kuat dan berakar. Sejatinya nilai itu bermuara kepada karya dengan amanat tersirat-tersurat, yang mungkin bermanfaat bagi penyelenggara negeri secara khusus, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Apalagi sepanjang tahun 2024, kita dijejali dengan berbagai atraksi banal dalam pra-sirkus tahun politik pilpres dan pemilu serentak. Sampai tiba waktunya citra yang mengusung panji-panji kontrol sosial hadir untuk menggedor ingatan dan hati nurani kita semua.
Metafora atas tragedi bayi lutung yang kehilangan induk akibat kekejaman insan manusia itu, sesungguhnya merupakan pemantik bernas dari misi APFI pada perhelatannya yang tahun ini genap memasuki penyelenggaraannya ke-15. Memang, semesta alam dan lingkungan kita seperti tak bosan memberi tanda kepada umat manusia perihal perangai mereka; khususnya yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan, kekejaman, dan keserakahan.
Mari simak penuturan visual pewarta foto Arie Basuki yang mengangkat kisah dari pesisir Jawa Tengah yang diberinya tajuk, “Bertahan Hidup Sendiri di Dusun yang Terendam Laut.” Padanya terbentang kisah visual tentang Ibu Pasijah, yang sendirian, namun dengan khusuk dan gigih menanam mangrove di kawasan yang dulunya merupakan lahan pertanian, namun sekarang telah menjadi lautan. Perubahan iklim itu berdampak di Rejosari Senik, Demak, Jawa Tengah. Ibu berusia 54 tahun itu kini menjadi satu-satunya warga Dusun Rejosari, bersama suami dan anaknya, memilih bertahan hidup di sana. Sebelum terendam air laut, dusun tersebut dihuni oleh 225 kepala keluarga, mereka terpaksa pindah ke tempat yang lebih aman. Karya itu menjadi yang terbaik dalam foto cerita kategori People in the News APFI 2025.
Melalui riset Bank Pembangunan Asia (ADB) Arie mengutipkan, bahwa Indonesia berada di tiga besar negara yang paling berisiko terkena dampak perubahan iklim. Masih menurut ADB, sekitar 1,4 juta penduduk akan terkena dampak banjir ekstrem pada tahun 2035-2044. Itu adalah periode yang diagungkan akan menjadi target kejayaan ekonomi Indonesia Emas yang puncaknya akan jatuh pada tahun 2045. Kisah visual yang miris tersebut mengilustrasikan variasi keberagaman budaya dan etnis negeri dengan 17 ribu pulau Indonesia bakal bertambah dengan masuknya unsur kemiskinan rural di dalamnya.
Perihal keberagaman; foto tunggal pewarta foto Dhemas Reviyanto, masih dalam kategori foto People in the News, memenanginya dengan imaji foto yang menyejukkan hati. Tentu jika imaji itu disimak pada pekan pertama September 2024 yang silam, ketika berlangsungnya kunjungan bersejarah Paus Fransiskus di Indonesia. Dalam foto Dhemas, kepala Sri Paus – yang dikenal sebagai tokoh reformis; pro lingkungan, peduli kaum papa dan anti kapitalisme itu – tampak dikecup Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, kala menyambutnya di halaman Masjid Istiqlal sebelum meninjau Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral.
Meskipun saat Dewan Juri APFI memilihnya sebagai foto terbaik dalam sidang penjurian pada 22 Februari 2025, namun pontennya tak lagi setinggi saat dua tokoh itu berjumpa pada 5 September 2024 itu. Saat itu, imaji foto tersebut menghamparkan saujana toleransi umat beragama yang kental, namun sekarang pesannya mungkin terasa agak hambar. Sebab saat penjurian berlangsung, berita intoleransi, perundungan dan pelarangan pendirian rumah ibadah kaum minoritas terus berlangsung tanpa penyelesaian yang tuntas dari negara, termasuk aparat keamanan, serta kementerian agama yang sekarang jabatannya justru dirangkap Imam Besar Masjid Istiqlal tadi.
Beberapa saat nanti, jika kejadian miris serupa terus terjadi, maka misi yang kuat dalam foto itu akan menguap seketika, dan hanya menyisakannya sebagai sekeping imaji pencitraan belaka. Padahal dalam sambutannya, seperti yang dikutip Kompas.Com, ketika berkunjung ke Masjid Istiqlal itu, Sri Paus menyitir perihal lingkungan dan toleransi; “Jika benar kalian adalah tuan rumah tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah bahwa harta yang paling berharga adalah kemauan agar perbedaan tidak menjadi alasan untuk bertikai, tetapi diselaraskan dalam kerukunan dan rasa saling menghormati.“
Sayangnya, penjajahan dan perang, terus mengglobal dan berlangsung secara brutal. Imaji yang dipetik pewarta foto Reza Saifullah mengungkapkan betapa kekejaman kemanusiaan masih membara di Provinsi Rakhine, Myanmar, membawa dampak kemanusiaan yang berkesinambungan sampai hari ini. “Evakuasi Pengungsi Rohingya,” adalah judul foto Reza yang memperlihatkan sejumlah pengungsi Rohingya berdiri di punggung perahu yang terbalik, saat tim penyelamat melemparkan tali untuk menolong mereka di perairan lepas pantai Aceh Barat. Tadinya perahu kayu yang membawa mereka, menurut data UNHCR (Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi), bermuatan sekitar 140 pengungsi, namun setelah terbalik 67 pengungsi, termasuk 26 anak-anak meregang nyawa. Imaji yang mengenaskan ini meraih penghargaan tertinggi dalam foto tunggal kategori Spot News.
Imaji dalam aspek lingkungan dan kemanusiaan mengemuka dalam perhelatan APFI kali ini, tanpa mengesampingkan peran dan pesan visual dalam kategori APFI lainnya. Pewarta foto Aditya Pradana Putra, menampilkan “Elegi Lewotobi,” meraih anugerah pertama foto cerita kategori Spot News. Muhammad Bagus Choir memenangi foto cerita kategori General News melalui “Pesta Demokrasi dalam Balutan Tradisi Badui,” fotografer Maman Sukirman tepilih sebagai yang terbaik untuk foto tunggal kategori Art, Culture and Entertainments, “Tradisi Ma’Nene Toraja untuk Menghormati Leluhur,” sementara foto cerita untuk kategori tersebut dimenangi pewarta foto Yuniadhi Agung melalui karya “Melewati Malam Tahun Baru secara Sederhana.” Foto tunggal kategori Sport terbaik diraih Eusebio Chrysnamuri dengan “Hadangan Justin,” sementara foto ceritanya dimenangkan Adi Maulana Ibrahim melalui karya “Meraih Mimpi Menjadi Atlet Bulutangkis.”
Sementara Dewan Juri APFI tahun ini adalah; Evi Mariani mantan Redpel Jakarta Post yang mendirikan Project Multatuli, tahun 2023 dia terpilih sebagai juri regional Asia Tenggara dan Oceania World Press Photo; lalu ada jurnalis senior Nany Afrida, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Pemimpin Redaksi di Independen.id. Selama konflik dan tsunami di Aceh ia juga menjadi fotografer untuk EPA (European Pressphoto Agency); selanjutnya Andry Prasetyo, pewarta foto senior dan pengajar Program Studi Fotografi Institut Seni Indonesia Surakarta. Pernah bergabung dengan Harian Solopos, Koran Tempo dan Kantor Berita Reuters. Doktor fotografi ini merampungkan disertasi atas penelitian atas foto-foto pemenang Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) dari tahun 2009 hingga 2022; berikutnya pewarta foto muda, Mast Irham, yang menjadi Ketua Dewan Juri APFI berturut-turut pada tahun 2024 dan 2023. Sejak 2004 hingga sekarang, dia menjabat chief-photographer Indonesia untuk EPA. Sebelumnya ia pernah bergabung di harian Media Indonesia. Pengalaman liputannya di dalam dan luar negeri sangat luas; terakhir Oscar Motuloh, pewarta foto,dosen dan kurator fotografi independen. Pernah bekerja di Kantor Berita Antara. Mendirikan Yayasan Riset Visual mataWaktu pada tahun 2019.
Dalam sebuah diskusi yang seru namun hangat, Dewan Juri akhirnya memilih Photo of the Year APFI 2025 secara aklamasi. Seluruh pemenang kategori yang dikompetisikan dalam APFI tahun ini diputuskan tanpa menggunakan pendekatan: voting. Seluruhnya didiskusikan dalam forum egaliter yang demokratis, meskipun anggota dewan juri berbeda selera dan opininya. Dalam tahun politik yang buram, Dewan Juri APFI 2025 memilih foto cerita berlatar lingkungan yang juga memenangi kategori foto cerita Kategori Nature and Environment, sebagai simbol yang mewakili penghujung pemerintahan Presiden Jokowi yang kontroversial. Melalui foto cerita karya pewarta foto Iqbal Lubis, representasi pemerintahan Presiden ke-7 RI itu dianggap terwakili karakternya.
Memilih judul yang apokaliptik, “Kiamat Telah Tiba,” Iqbal menyusun rangkaian foto-fotonya dengan dingin. Narasi yang ditulisnya sangat tepat mengantarkan esei foto yang menghampar kan pencemaran atas tanah dan lingkungan Indonesia yang konon, sangat kaya. Begini dia mengawali opini visualnya, “Seperti kiamat yang berlangsung perlahan, waktu demi waktu. Bagaimana hilirisasi nikel meninggalkan dampak yang menghancurkan bagi warga rentan di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.” Karya ini dengan anggun menjadi katarsis bagi dunia pertambangan kita, di seantero negeri yang menderu lirih, seperti alunan belasungkawa dalam kidung requiem.
Sementara tanpa menariknya secara kausalitas, nada Photo Of the Year ini seolah berbalas pantun sebab-akibat, dengan pemenang utama foto tunggal kategori General News, pewarta foto Devi Rahman yang memetikkan imaji dari sebuah unjuk rasa yang berlangsung pada 12 Februari 2024. Mengangkat judul “Demonstrasi Politik Dinasti,” dengan lugas dia membentangkan saujana teatrikal unjuk rasa mahasiswa Yogyakarta. Massa dan mahasiswa menuntut Presiden Jokowi Menghentikan dinasti politik keluarga dalam Pilpres dan pemilu serentak 2024. Imaji yang terekam dalam lensa Devi mengingatkan kita kepada etching dan sketsa Revolusi Prancis, lengkap dengan perangkat guillotine yang dahulu digunakan untuk memenggal raja Louis XIV dan istrinya Marie Antoinette. Teater jalanan itu berlangsung di jalan Colombo, Gejayan, Yogyakarta. Kawasan bersejarah yang menjadi saksi bisu, kala unjuk rasa Gerakan Reformasi bergema dari Kampus Biru.
Pada penghujung jalan, baiklah kita berkaca kepada citra dari imaji foto yang diabadikan pemenang kategori Citizen Journalist APFI 2025. Imaji karya jurnalis warga, Rifqy Ajir, diberi tajuk, “Kembali ke Alam.” Sekeping kisah tentang Monyet Topeng Monyet, yang telah bertugas secara profesional selama sebelas tahun. Dia diculik dari alam liar, diperjualbelikan di pasar hewan, lalu Sang Primata (macaca fascicularis) dilatih sebagai budak pertunjukan untuk periuk nasi sang majikan dan keluarganya.
Coda
Monyet ekor panjang itu sekarang sekarang telah merdeka. Dia tengah menjalani proses pengelompokan dan rehabilitasi yang panjang dan berjenjang di Pusat Penyelamatan Primata, sebelum tahap pelepasliaran di habitatnya, akan dilakukan di hutan kawasan Jawa Barat. Seperti bayi lutung yang malang, jari-jari primata cerdas itu terlihat pasrah memegang kotak besi yang mengurungnya. Pandangan mata Monyet Topeng Monyet itu seperti ingin mengajari peri kemanusiaan yang hakiki kepada kita, umat manusia. Umat yang 27 tahun belakangan ini hanya mampu membangun peradaban kekuasaannya (lagi-lagi) dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
*Oscar Motuloh a/n Dewan Juri APFI 2025
