Oleh: Mast Irham – Ketua Dewan Juri APFI 2024
Hujan perlahan mereda setelah cukup lama mengguyur Taman Pandang di seberang Istana Merdeka. Puluhan orang berdiri melingkar sambil berlindung di bawah payung-payung hitam bertuliskan tuntutan keadilan untuk korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Suara Maria Catarina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), tetap terdengar lantang meski bersaing dengan deru kendaraan bermotor dan suara rintik hujan yang beradu dengan payung hitam di tangannya. Wawan adalah mahasiswa Universitas Atma Jaya yang menjadi korban dalam tragedi gerakan demonstrasi mahasiswa 1998.
Asa tak kunjung padam, 17 tahun sudah aksi Kamisan digelar di depan istana oleh Sumarsih dan kawan-kawan, demi keadilan yang masih jauh panggang dari api. Selama 17 itu tahun pula, payung-payung hitam terkembang di hampir setiap Kamis, menjadi tanda duka sekaligus simbol perjuangan bagi keluarga korban kejahatan HAM di tanah air. Tragedi 1998 yang menewaskan Wawan adalah satu dari sekian banyak kejahatan HAM di tanah air.
Payung-payung hitam ini diabadikan pewarta foto Rony Ariyanto Nugroho sebagai sebuah siluet. Hitam pekat, seolah menjadi representasi dosa-dosa masa lalu yang tak kunjung terang. Foto ini menjadi salah satu foto yang paling menonjol dalam penjurian APFI tahun ini–menjadi pengingat bahwa bangsa ini punya hutang yang belum terbayar.
Manusia mengenal gambar jauh sebelum punya kemampuan menulis. Karenanya, semua orang merasa lebih mudah mengenali gambar–yang menarik dan yang kurang menarik. Tak heran bila kemudian sebuah karya visual juga lebih mudah tersimpan dalam ingatan manusia.
Dalam jurnalisme modern, fotojurnalistik berada pada posisi unik. Di satu sisi, foto punya peran penting dalam penyampaian informasi. Kemampuannya sebagai penarik perhatian membuat karya fotojurnalistik hampir selalu dipasangkan pada sebuah artikel atau tulisan. Di sisi lain, fotojurnalistik kerapkali dijadikan pelengkap tulisan semata.
Dalam fotojurnalisme, sebuah foto bukan hanya tampilan imaji, melainkan suguhan potongan peristiwa, intelektualitas, pemahaman nilai-nilai berita, dedikasi, teknis fotografi, dan estetika yang dibungkus rapat oleh etika jurnalistik. Ini yang diharapkan bisa menjadi representasi ingatan kolektif penikmatnya. Ingatan yang kemudian tercatat rapi dalam lipatan-lipatan koran dan tumpukan memori digital yang bisa dipanggil kembali di masa depan. Adalah tugas utama Pewarta Foto Indonesia (PFI) untuk memberikan pemahaman berkesinambungan kepada awam akan pentingnya peran dan eksistensi fotojurnalisme. Terutama di era banjir informasi visual.
Di tengah belantara visual dunia digital, media massa dan para pewarta sepantasnya mengambil peran lebih. Bukan semata sebagai suar pengetahuan dan informasi, tapi juga sebagai rujukan untuk mengonfirmasi kabar.
Karya-karya foto dalam buku APFI merupakan gambaran kualitas atmosfer fotojurnalisme tanah air. Lima anggota dewan juri dengan latar belakang beragam, berusaha ‘menemukan’ foto-foto terbaik dan bermakna.
Sebagai pemerhati isu sosial, Luviana Ariyanti banyak memberi input dari perspektif hak-hak kaum marjinal dan kepentingan perempuan. Taufan Wijaya, dengan latar belakang sebagai pengajar, menyumbang pemikiran dalam kerangka akademis dan riset. Helmi Fithriansyah, mengulurkan pertimbangan editorial berdasarkan pengalamannya sebagai redaktur foto. Sementara Irene Barlian menyoroti proses merangkai foto dan langkah-langkah bertutur lewat foto cerita.
Peristiwa besar memang tidak banyak terjadi sepanjang tahun 2023 jika dibandingkan tahun sebelumnya. Selama hampir 12 jam, dewan juri dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit demi menemukan karya-karya terbaik dari 2.172 karya yang diterima. Akhirnya, terpilih satu karya foto terbaik yang menjadi representasi puncak peristiwa di tahun 2023.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, karya-karya pada kategori Nature and Environment selalu menarik untuk diamati. Karya-karya yang dikirimkan tampil kuat secara visual dan sarat makna.
Foto pemenang katagori foto single yang menampilkan gambar ubur-ubur terperangkap dalam kantong plastik karya Bayu Novanta, mempertontonkan dampak buruk penggunaan plastik yang berlebihan pada lingkungan. Atau foto cerita karya Ulet Ifansasti, menampilkan visual penambangan nikel yang mengacaukan harmonisasi alam dan kehidupan warga sekitar. Realita ini seakan menjadi nyanyian sumbang di tengah riuh isu hilirisasi nikel dan perlombaan mencari cuan.
Dari ribuan foto yang ditampilkan selama proses penjurian, visual sosok Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka berjalan di bawah foto Presiden Joko Widodo adalah karya yang paling kerap muncul dalam diskusi penjurian. Foto ini terpilih sebagai pemenang katagori People in the News sekaligus tampil sebagai Photo of the Year.
Pemadaman listrik yang dipicu hujan deras memaksa rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Solo berlangsung dengan penerangan dari lampu darurat. Sinarnya menerpa sosok Gibran sementara bingkai foto sang ayah dengan pencahayaan lebih redup ditampilkan oleh Yoma Times Suryadi, sang pewarta foto, di sisi kanan atas frame sehingga memberikan rasa visual yang berbeda.
Seperti karya visual lain, fotojurnalistik memberikan ruang bagi interpretasi, memancing pikiran kita untuk menerka makna yang tersirat dalam imaji yang tersaji, tentu saja sesuai dengan referensi yang tertanam dalam otak kita. Proses lolosnya Gibran dalam kontestasi pemilu sebagai calon wakil presiden, menjadi berita yang paling menyita perhatian publik sepanjang 2023 bahkan 2024.
Sebagian orang melihatnya sebagai harapan baru bagi generasi muda, sebagian yang lain menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran etika demokrasi dan hukum. Sebuah bukti bahwa fotojurnalistik tidak selalu bertutur secara lugas namun juga mampu tampil puitis, dengan simbol-simbol pemantik tanya.
Sebagai insan jurnalistik, nilai berita adalah perangsang simpul-simpul syaraf bagi pewarta foto. Rasa ingin tahu dan skeptisisme adalah adrenalinnya, sementara empati adalah denyut nadinya. Nilai berita memberi arah pada jurnalisme, rasa ingin tahu dan skeptisisme memicu keinginan bertanya dan mempertanyakan, memberi tenaga bagi pewarta untuk menyajikan informasi akurat dan bermutu. Sedangkan empati adalah jiwa dalam jurnalisme, memberi kesadaran dan kewarasan, sekaligus menjaga pewarta foto untuk tetap menjadi manusia.