Unan-Unan, Tradisi Bersyukur dan Pengharapan Suku Tengger

Ancak berisi sesaji kepala kerbau untuk dibawa ke Sanggar saat upacara Unan-Unan di Desa Wonotoro, Probolinggo, Jawa Timur, pada 23 April 2024.

Image 1 of 9

Ancak berisi sesaji kepala kerbau untuk dibawa ke Sanggar saat upacara Unan-Unan di Desa Wonotoro, Probolinggo, Jawa Timur, pada 23 April 2024.

Oleh: Suryanto | PFI Surabaya

Setiap lima tahun sekali, warga yang bermukim di area pegunungan Bromo-Semeru atau yang biasa dikenal dengan Suku Tengger menggelar ritual “Unan-Unan” untuk membersihkan desa dari roh jahat dan menyucikan alam semesta. Tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun tersebut untuk menjaga keharmonisan alam dan wujud rasa syukur kepada dewa dan para leluhur.

Seperti di Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, setidaknya 10 Desa yang menggelar “Unan-Unan” pada Selasa 23 April 2024. Upacara dimulai dengan menyembelih seekor kerbau, sehari sebelum ritual dilakukan. Pada puncaknya kepala, kepala kerbau ditempatkan pada ancak dan dihias sedemikian rupa dengan berbagai sesaji lain. Kepala kerbau yang dihias indah ini menjadi simbol dari pengorbanan dan harapan yang mereka bawa.

Para warga Tengger kemudian mengarak ancak yang memuat sajen tersebut menuju sanggar pamujan, tempat peribadatan yang menjadi pusat ritual. Di sana, doa-doa dipanjatkan, harapan diungkapkan, dan ikatan dengan alam serta leluhur diperkuat.

Ritual Unan-unan, merupakan sebuah warisan leluhur yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali, di tahun yang Suku Tengger sebut sebagai ‘Landung’. Ini adalah penanda penting dalam kalender mereka yang terdiri dari 13 bulan, sebuah sistem waktu yang unik dan menggambarkan hubungan khusus mereka dengan alam.

Unan-unan, yang berasal dari kata “Una” yang berarti memperpanjang, tak hanya mempersembahkan rasa syukur, tetapi juga upaya untuk memperpanjang bulan dalam kalender tradisional Tengger. Ini adalah simbol dari kesatuan mereka dengan alam dan langit.

Kepala kerbau kemudian dikubur bersama berbagai sesaji di area “Sanggar”, sementara dagingnya dibagikan kepada seluruh warga untuk nantinya dikubur di lahan pertanian masing-masing warga. Hal ini dengan harapan adanya hasil panen yang melimpah. Di ujung ritual pemangku adat warga dibagikan sejumput beras dan gelang “lawe” yang terbuat dari tali, dan diakhiri dengan makan bersama dengan seluruh warga desa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *