Oleh: Aprillio Akbar*
Artikel ini lebih menekankan untuk menguji hipotesis awal bahwa paradigma estetika foto jurnalistik telah bergeser, akan saya uraikan dalam dua bagian. Bagian pertama lebih menggambarkan posisi foto jurnalistik saat ini, untuk bagian kedua akan mengklasifikasikan foto jurnalistik dalam kategorisasi fotografi kontemporer.
Bagi saya, foto jurnalistik sebagai sebuah dokumentasi dan artefak dari perjalanan panjang yang menyangkut peristiwa-peristiwa di berbagai belahan dunia. Kehadirannya pada abad 21 telah berkelindan dengan berbagai medium yang mendukungnya. Fotografi secara umum sering dipakai sebagai suatu medium seni rupa dalam perhelatan pameran-pameran besar. Meskipun tak jarang juga yang memperdebatkan posisinya dalam kancah seni rupa. Banyak juga karya-karya dari para pewarta foto yang bersanding bersama para seniman-seniman kontemporer di dinding galeri, sebagai contoh karya pewarta foto senior Oscar Motuloh yang dipamerkan dalam Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional Jakarta.
Posisi pewarta foto pun bisa juga menjadi posisi setara dengan seniman. Seperti yang tegaskan oleh Sutrisna & Sabana (2015) kaitannya posisi fotografi dalam dunia seniman dari pelbagai era, menyebutkan bahwa “pada era Modernisme, fotografi berfungsi sebagai ‘pelayan’ seniman, sedangkan pada era Postmodernisme seniman sebagai fotografer, dan pada era Seni Kontemporer saat ini, fotografer adalah seniman”. Posisi fotografer sebagai seniman secara tidak langsung juga berpengaruh dalam peran pewarta foto yang seharusnya tidak hanya berkutat dengan isu-isu semata namun juga bertanggung jawab pada estetika fotografi baik secara ideasional dan teknikal.
Pendekatan visual bisa menjadi hal distingsi di era yang sudah tidak ada lagi kebaruan ini. Pewarta foto dituntut harus mampu menawarkan berbagai pendekatan visual ditengah kesamaan secara ide sebuah karya foto jurnalistik yang terimajikan. Sebagai refleksi bagi pewarta foto dan “mungkin” para fotografer, dapat berkaca dari ajang kompetisi World Press Photo (WPP) 2022, yang membuka kategori ‘Open Format’. WPP sendiri menjabarkannya sebagai berikut
“Open Format menyambut berbagai dan/atau campuran media bercerita (termasuk namun tidak terbatas pada): Polyptychs; multiple exposure; panorama yang dijahit; kolase fotografi; dokumenter interaktif (misalnya AR, VR, berbasis web, dll); video dokumenter pendek hingga 15 menit. Konten visual utama dari proyek harus tetap fotografi, tetapi dapat disajikan dalam kombinasi dengan (namun tidak terbatas pada) video, animasi, grafik, ilustrasi, suara atau teks.” (World Press Photo)
Paradigma estetika foto jurnalistik yang bisa dibilang sangat ortodok dengan kehadiran kategori Open Format ini, membuka mata bagi pewarta foto untuk terus bereksplorasi tidak hanya dalam isu-isu namun pada pendekatan visual yang ditawarkan karena dengan itu maka makna fotografi sebagai bahasa visual, menjadi semakin ditegaskan bahwa foto jurnalistik itu tidak kaku. Dengan hadirnya kategori itu, bagi saya sendiri jargon “foto jurnalistik gitu-gitu aja bray” dapat perlahan tersingkirkan dari benak, yang berarti kemampuan pewarta foto tidak hanya berpaku pada decisive moment, namun pada bagaimana mengemas secara artistik peristiwa-peristiwa itu untuk diceritakan kembali ke khalayak ramai.
Permasalahan utama bagi seorang pewarta foto di Indonesia, atau bisa dikerucutkan di kota Jakarta, yang bisa saya uraikan dalam artikel ini adalah terlalu berkutat pada isu, seperti yang telah saya singgung di atas, sehingga melupakan posisi kekuatan visual apa yang ditawarkan. Saya meyakini bahwa ketika isu dan pendekatan visual memiliki keseimbangan, maka karya-karya yang dihasilkan akan memiliki kekuatan daya pukau untuk para pembaca.
*Aprillio Akbar, Pewarta Foto ANTARA
Referensi
Sutrisna, Mira, dan Setiawan Sabana. “Representasi Foto Keluarga: Ekspresi Seni Kontemporer pada Abad ke-21.” Panggung, vol. 25, no. 3, 2015, hal. 279–91, doi:10.26742/panggung.v25i3.24.
World Press Photo. 2022 Contest categories. 2021, hal. 1, https://www.worldpressphoto.org/contest/2022/categories.