Memahami Representasi dan Minoritas Agama dalam Media

Poster IG Denty copy

Oleh: Denty Piawai Nastitie*

“Tanpa bahasa, tidak ada representasi; tanpa bahasa, tidak ada makna” (Stuart Hall, 1997).

Teoris Kebudayaan, Stuart Hall berpendapat bahwa dunia ini penuh dengan interpretasi dan tak akan pernah ada makna tunggal dari apa yang sedang terjadi. Beragamnya interpretasi atas peristiwa dapat dilihat dari cara media menyajikan artikel berita. Bagai pisau bermata dua, representasi bekerja untuk menyatukan atau justru memecah belah persatuan?

Dalam sebuah presentasi, penulis yang menghasilkan karya esai terkenal berjudul Notes on Deconstructing the Popular ini memberikan contoh pertemuan damai di Irlandia Utara yang mengakhiri konflik politik yang terjadi sejak 1960-an. Hall berpendapat pertemuan itu dapat dimaknai dengan berbagai cara, seperti mempertimbangkan latar belakang pertemuan, tujuan peserta pertemuan, atau konsekuensi yang mungkin terjadi dari perjanjian damai.

Karena tidak ada makna tunggal dari pertemuan itu, setiap individu mungkin memiliki interpretasi berbeda dari suatu objek, orang, atau peristiwa. “Satu hal pasti tentang peristiwa itu adalah tidak ada satu pun makna yang benar dan pasti tentangnya,” ujar Hall.  

Lebih lanjut, ia menjelaskan representasi memiliki dua arti, yaitu mempresentasikan ide yang telah ada dan menawarkan pengakuan terhadap ide yang lain. Hall juga menuturkan bahwa makna dari suatu kejadian diciptakan oleh individu, dan makna yang mereka buat tergantung pada bagaimana hal itu digambarkan dalam media.

Kemenangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump (2016), misalnya, menjadi headline di hampir semua surat kabar dunia. Warga AS bereaksi terhadap kemenangan itu dengan berbagai cara, termasuk meluapkan kebahagiaan, keajaiban, kaget, dan takut. Dalam media, kemenangan Trump disajikan dengan berbagai pendekatan, seperti Trump Triumphs (The Washington Post) atau I can’t look (The Philadelphia Daily News).

Contoh representasi juga dapat dilihat dari peristiwa Brexit. The Sun Magazine memandang Brexit sebagai suatu kesuksesan. Majalah itu menggambarkan orang-orang yang bersorak untuk keluarnya Inggris dari Uni Eropa sebagai sampul. Di sisi lain, The Guardian menilai Brexit sebagai kerugian dan menggambarkan kejadian dengan suasana yang menyedihkan.

Ada dua proses penting dalam menciptakan makna. Pertama ‘peta konseptual’, termasuk objek sederhana, peristiwa, dan ide-ide yang disampaikan. Kedua, bahasa memungkinkan individu untuk mengekspresikan makna mereka dan mengkomunikasikan pandangan mereka. Makna itu sendiri tidak muncul kecuali jika sudah disampaikan kepada Anda (Hall, 1997).

Contohnya, tidak seorang pun sepenuhnya tahu makna dari Brexit dan pandemi Covid-19 sampai kedua persitiwa itu dituliskan dan disajikan kepada pembaca. Walter Lippmann menjelaskan, kebebasan untuk menafsirkan makna dan menghasilkan opini dapat mengakibatkan distorsi. Mengingat tidak ada makna tunggal di dunia, dan pemberitaan media hampir segera melibatkan kekuasaan, Hall mengingatkan pembaca untuk selalu mengajukan pertanyaan tentang siapa yang mengedarkan makna, dan mengapa makna itu diproduksi.

Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, media memainkan peran penting dalam menciptakan makna melalui bahasa pada artikel yang disebarluaskan. Mengenai representasi, studi kasus bias media selama konflik agama ekstrem di Ambon seperti ditulis Ariyanto et al. (2008) telah menunjukkan bagaimana media menciptakan makna untuk mengidentifikasi para pelaku kekerasan.

Sepanjang 1999 dan 2002, ada lebih dari 5.000 kematian dan setengah juta orang mengungsi karena konflik antara Kristen dan Muslim (BBC, 2011). Dalam penelitiannya, penulis meneliti bagaimana liputan surat kabar di Indonesia mengidentifikasi tokoh protagonis dalam konflik Kristen-Muslim. Penulis melihat dua artikel surat kabar dari Republika (media publikasi milik kelompok Muslim), dan Suara Pembaruan (surat kabar dengan pembaca mayoritas Kristen).

Secara total, 480 artikel tentang konflik Ambon ditemukan di Suara Pembaruan dan Republika selama konflik agama. Penulis kemudian menghapus artikel konflik yang tidak terkait langsung dengan topik yang dibahas. Artikel yang memenuhi syarat untuk dipelajari dikategorikan menurut kosakata yang digunakan untuk mengidentifikasi pelaku kekerasan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi dominan yang dikembangkan oleh kedua media tersebut adalah menyembunyikan afiliasi agama dari para ekstremis kekerasan. Misalnya, surat kabar Kristen menggunakan istilah membingungkan untuk mengidentifikasi penyerang (misalnya, provokator, kelompok politik elit, atau kelompok massa). Surat kabar Muslim menggunakan strategi serupa, tapi jumlahnya lebih sedikit (29,82 persen versus 56,34 persen).

Ada juga perbedaan besar dalam cara kedua surat kabar itu menyebut orang-orang Kristen sebagai penyerang. Hanya 4,93 persen penyebutan di Suara Pembaruan yang memuat istilah atau frasa yang secara eksplisit menunjukkan umat Kristen sebagai pelakunya. Sementara di unit Republika terdapat sepertiga (33,09 persen) menyebut kelompok Kristen sebagai pelaku.

Temuan ini dapat menunjukkan bahwa publikasi di koran Muslim lebih condong dalam mengidentifikasi agama pelaku kekerasan Kristen (Ariyanto et al., 2008). Namun, ketika Muslim yang menjadi protagonis, perbedaan yang sama tidak terjadi, menyiratkan bias antarkelompok ada sampai batas tertentu. Hanya sebagian kecil unit yang melabeli pelaku sebagai Muslim baik di Republika (3,64 persen) atau Suara Pembaruan (7,75 persen).

Untuk menyimpulkan bagian ini, literatur telah mengidentifikasi komunikasi yang terkait erat dengan kekuasaan. Mereka yang berada di posisi kekuasaan, melalui ideologi atau stereotipe, memiliki suara dalam apa yang ditampilkan di media. Disposisi individu juga tentu turut memiliki andil dalam proses bias berita.

Studi kasus bias media selama konflik Kristen-Muslim di Ambon, Indonesia, seperti yang dilaporkan di surat kabar Kristen dan Muslim menunjukkan bagaimana kekuasaan – dalam hal ini adalah komunitas agama mayoritas – bekerja dalam memutuskan apa yang disajikan dalam artikel berita. Di sebagian besar daerah di Indonesia, umat Islam merupakan mayoritas baik dalam hal jumlah ataupun pengaruh. Komunitas Muslim dan Kristen memiliki tingkat kekuasaan yang berbeda. Ketika Muslim adalah mayoritas dalam hal jumlah juga pengaruh politik dan sosial, sementara Kristen adalah minoritas yang terpinggirkan.

Oleh karena itu, sebagai minoritas sosial dan politik, peran media Kristen sebagai penyedia informasi tentang konflik agama menjadi rumit. Mereka berisiko kehilangan pembaca Kristen jika mereka menyebutkan kelompok mereka terlibat dalam kekerasan. Surat kabar Kristen juga dapat menghadapi penganiayaan atau tekanan politik dari mayoritas Muslim jika mereka menyalahkan kelompok Muslim atas kekerasan.

Selain itu, pada masa Orde Baru para elite politik telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menekan atau bahkan menutup media. Terlepas dari adanya UU Kebebasan Pers, tidak semua media dapat sepenuhnya bebas memberitakan peristiwa. Ancaman dan ketakutan kemudian masih menghantui produksi media Indonesia hingga kini. Mengingat ketidaksetaraan kekuasaan, organisasi berita Kristen harus sangat berhati-hati dan bijaksana dalam pemberitaan mereka (Ariyanto et al., 2008).

Lalu, apakah menciptakan reprentasi dengan cara baru dapat mengubah persepsi? Bukti dekonstruksi makna anti-stereotip terlihat jelas dalam liputan media selama Pemilihan Presiden AS 2008 (Zhang & Tan, 2011). Media secara drastis mengubah persepsi negatif tentang orang Afrika-Amerika dalam waktu yang relatif singkat. Landasan yang paling penting adalah bahwa stereotip warga negara China tentang Afrika Amerika sebagai ‘kekerasan’, ‘keras’, ‘impulsif’, dan ‘agresif’ berubah menjadi sikap yang lebih positif.

Responden warga negara China sebelumnya memiliki pengetahuan terbatas tentang President Obama. Mereka kemudian memperoleh informasi dan pengetahuan dari internet yang kemudian meningkatkan pemahaman tentang Afrika-Amerika dan mengubah cara pandang mereka. Kesimpulan ini mendukung temuan dari penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa persepsi mengenai pembaca orang dengan stigma AIDS mungkin berubah ke arah yang positif ketika contoh positif ditawarkan (Werth & Lord, 1992).

Mempelajari temuan-temuan ini, dapat dikatakan bahwa produksi makna seperti pedang bermata dua; hal itu mungkin akan menimbulkan masalah baru, termasuk bentuk-bentuk rasisme dan stereotipe, juga melahirkan harapan. Menurut Hall, strategi efektif untuk menciptakan anti-stereotipe adalah dengan membuka diri dari dalam (media) dan mendekonstruksi proses representasi (Hall, 1997).

Selama beberapa dekade terakhir, isu-isu yang berkaitan dengan rasisme dan ketidaksetaraan telah ada dan telah menjadi diskusi publik. Situasi ini mengangkat wacana tentang representasi di media arus utama dan alternatif untuk menyuarakan kelompok minoritas. Oleh karena itu, keterwakilan kelompok etnis dan agama di media arus utama menjadi penting, seperti apa yang disuarakan oleh Charles Taylor (2021): “Suara yang berbeda dan terpinggirkan pantas dihormati dan diakui, terutama karena kita ‘hidup bersama’.”

Referensi:

Ariyanto, A., Hornsey, M. J., Morton, T. A., & Gallois, C. (2008). Media bias during extreme intergroup conflict: The naming bias in reports of religious violence in Indonesia. Asian Journal of Communication, 18(1). https://doi.org/10.1080/01292980701823740

BBC. (2011). Troops sent after deadly clashes in Indonesia’s Ambon. https://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-14879139

Curtis, M. (1991). Walter Lippmann reconsidered. Society, 28(2). https://doi.org/10.1007/BF02695499

Hall, S. (1997). Introduction & The Work of Representation. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices.

Taylor, C. (2021). The politics of recognition. In Campus Wars: Multiculturalism And The Politics Of Difference. https://doi.org/10.5130/nesais.v2i1.1488

*Tentang penulis:

Denty Piawai Nastitie merupakan jurnalis dan penulis yang peduli pada isu keberagaman, toleransi, dan kesetaraan. Saat ini Denty sedang menyelesaikan pendidikan pascasarjana MA Religion in Global Politics di SOAS, University of London. Di waktu luang, Denty suka duduk di pinggir kanal sambil ngopi dan baca buku. Hubungi denty: [email protected].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *