Oleh: Susanto | PFI Jakarta
Mayoritas orang pasti mengidam-idamkan untuk memiliki rumah sebagai tempat berlindung yang layak untuk ditinggali. Layak di sini setidaknya memiliki tempat yang nyaman untuk berkumpul. Ada air untuk mandi, memasak dan keperluan mencuci baju, listrik untuk barang-barang elektronik. Tak hanya itu, keingin memiliki rumah dengan ukuran yang lapang menjadi prioritas.
Namun, hal itu tidak berlaku bagi sekitar sepuluh ribuan kaum Papa yang mendiami North Cemetery di Santa Cruz, Manila, Filipina. Hidup mereka bergantung pada kematian. Asalkan ada acara penguburan, di situlah mereka bisa membeli keperluan hidup sehari-hari, atau bahkan hanya sekedar membayar angsuran utang-utang.
Mereka tinggal di antara kuburan yang ditumpuk, layaknya apartemen bagi si mati. Kalau mereka beruntung, kuburan orang dengan riwayat kaya raya semasa hidup menjadi pilihan terbaik. Ukuranya biasanya lebih luas dan memiliki teralis. Cukup ditambah lembaran kayu, kabel panjang untuk kebutuhan listrik, ditambah barang-barang elektronik dan peralatan dapur yang mereka miliki dimasukkan ke dalam kuburan layaknya rumah.
Tak jarang, sesekali terdengar suara musik dengan volume yang cukup kencang menggema dari dalam kuburan. Aroma sedap masakan menyeruak, mengesampingkan bebauan yang berasal dari jasad yang berbaring di dalam kuburan.
Semua tampak normal, aktivitas keseharian mereka berjalan dengan semestinya. Perbedaan mencolok hanya lokasi mereka tinggal berdampingan dengan para pendahulu.
Mayoritas dari mereka telah tinggal di lokasi pemakaman sejak 1980-an. Bahkan, beberapa dari mereka sudah beranak-pinak hingga tiga generasi, mewariskan kuburan untuk mereka tinggali bersama keluarga. Berbagai alasan muncul, mulai dari masalah ekonomi, mencari penghidupan baru di kota hingga tidak merasa aman karena merebaknya kriminalitas dan peredaran obat-obat terlarang.
Meningkatnya kejahatan dibarengi dengan peredaran obat terlarang menjadi momok tersendiri bagi Pinoy, sebutan khas rakyat Filipina. Karena Negara tidak mampu melindungi rakyatnya, memunculkan masalah baru dengan diberlakukannya penjualan senjata api bagi masyarakat sipil.
Mereka yang berasal dari kalangan mampu, memilih membuat benteng yang kokoh dengan jeruji besi rumah mereka, hanya untuk memberikan rasa aman. Sedangkan si miskin, jangankan membeli senjata untuk pertahanan diri, mampu membeli makan saja sudah lebih dari cukup. Tak ayal, kuburan menjadi tujuan, tanpa harus mengeluarkan biaya, hanya bermodal kenekatan.
Hidup bagi mereka memang sulit, namun mereka terus berusaha untuk bertahan.