Oleh: Hendra Eka* (@_hendraeka)
Film The Post yang tayang tahun 2017 mengangkat peristiwa nyata publikasi dokumen rahasia Amerika Serikat tahun 1971 atau yang dikenal dengan sebutan Pentagon Papers. Meski telah tayang 4 tahun silam, namun film ini dirasa masih relevan dengan keadaan media di Indonesia dewasa ini, utamanya tantangan perusahaan pers dalam mengelola kantor dan sumber dayanya di tengah-tengah badai pandemi Covid-19.
Film garapan sutradara kondang Steven Spielberg ini merupakan film biografi sejarah dengan dua bintang ternama Hollywood, Meryl Streep dan Tom Hanks, sebagai pemeran utamanya.
Cerita dalam film berdurasi 116 menit ini dibuka dengan adegan perang yang tengah berkecamuk di Vietnam pada tahun 1966. Analis militer Amerika Serikat, Daniel Elllsberg (yang diperankan oleh Matthew Rhys), yang saat itu bertugas mendokumentasikan perkembangan kegiatan militer AS menyimpulkan bahwa tidak ada harapan perdamaian dari perang ini. Namun, hal tersebut berbeda 180 derajat dengan apa yang disampaikan oleh Secretary of Defense AS, Robbert McNamara (Bruce Greenwood).
Robbert mengatakan saat di door-stop oleh wartawan bahwa ada harapan untuk damai dalam perang Vietnam. Daniel pun kecewa atas pernyataan Robbert, ia menilai pemerintah AS telah memanipulasi fakta dan membohongi rakyat. Beberapa tahun kemudian, Daniel menyalin dokumen rahasia mengenai perang Vietnam ke dalam berkas yang disebut dengan Pentagon Papers. Ia kemudian mengirimkannya ke surat kabar The New York Times (NYT).
13 Juni 1971, Pentagon Papers menjadi headline halaman 1 NYT dengan judul “Vietnam Archive: Pentagon Study Traces 3 Decades of Growing U.S. Involvement”. Sehari kemudian langkah yang sama dilakukan oleh The Washington Post (The Post). Pemimpin Redaksi The Post, Ben Bradlee (Tom Hanks), mendesak atasannya, Katherine Graham (Meryl Streep), untuk ikut mempublikasikan dokumen tersebut guna menaikkan citra mereka sebagai surat kabar yang kredibel. Ben Bradlee menilai The Washington Post harus lebih berani mengangkat isu-isu aktual dan tidak hanya memuat berita yang berisi citra “kebaikan” pemerintah ataupun sekedar berita pernikahan anak Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon.
Namun Kay – sapaan Katherine Graham – sendiri tengah dilanda kebimbangan, ia yang aslinya hanya pebisnis wanita biasa kini harus dekat dengan sejumlah politisi dan pejabat teras. Kay harus mengemban tanggung jawab besar sebagai pemimpin perusahaan surat kabar warisan orang tua dan suaminya yang telah meninggal. Di satu sisi, Kay juga ingin bermain aman dan mempertahankan jaringanya dengan politisi serta pemerintah demi kelangsungan perusahaannya ke depan, yang kebetulan pula saat itu The Post baru saja melantai di bursa saham American Stock Exchange.
Di satu sisi mata pedang lainnya, Kay juga ingin mendukung kebebasan pers dalam menyampaikan kebenaran peristiwa pada publik. Di waktu yang berebarengan, pihak gedung putih baru saja mengelurkan larangan mempublikasikan Pentagon Papers dan memperkarakan NYT ke pengadilan karena membongkar rahasia negara, hal itu dilakukan pemerintah AS karena mempublikasikan Pentagon Papers dinilai bisa mengganggu stabilitas nasional dan pelakunya akan dituntut secara hukum.
15 menit lepas pukul 12 malam, akhirnya Kay sebagai pucuk pimpinan menyetujui The Post untuk mempublikasikan dokumen-dokumen lain yang lebih lengkap dari Pentagon Papers sebagai headline di halaman 1-nya untuk tanggal 18 Juni 1971. Dokumen-dokumen lain itu didapatkan oleh redaktur senior Ben Bagdikian yang menemui langsung Daniel Elllsberg secara rahasia dan menerbangkan seluruh dokumen bersamanya melalui 2 kursi pesawat kelas bisnis.
Meski mendapatkan tekanan dari sejumlah pemegang saham, namun langkah The Post menerbitkan cerita itu ternyata menjadi sebuah turning point tren pemberitaan di AS. Sejumlah koran mulai dari Boston Globe hingga Philadelphia Inquirer mengikuti arus pemberitaan utama The Post dengan memuat Pentagon Papers sebagai headline.
Hal itu pula yang menjadi pemantik demonstrasi di depan Supreme Court. Ratusan masyarakat AS berkumpul menuntut hakim agar membebaskan awak redaksi NYT dan The Post karena telah mempublikasikan informasi rahasia negara kepada khalayak.
Usai ketukan palunya, Supreme Court yang terdiri dari sembilan hakim agung serta berperan sebagai pengadil tertinggi di Amerika Serikat menilai bahwa NYT dan The Post tidak bersalah. Enam suara hakim agung yang terdiri dari Hugo L. Black, William O. Douglas, William J. Brennan Jr., Thurgood Marshall, Potter Stewart and Byron R. White mengalahkan tiga suara hakim lainnya.
Hal itu dikuatkan oleh pernyataan salah satu hakim agung, Hakim Hugo L. Black. “Bapak pendiri bangsa telah menyetujui kebebasan pers, dan perlindungan itu pasti ada. Untuk memenuhi peran penting dalam demokrasi, pers hadir untuk melayani pemerintah (goverment), bukan seorang pemimpin (governor).” ujar Black yang ditirukan ulang melalui sambungan telepon oleh sekretaris redaksi The Post, Meg Greenfield.
Kasus pemberitaan Pentagon Papers ini pula yang akhirnya membuat Supreme Courts menelurkan aturan baru mengenai surat kabar, yakni Court Rules for Newspapers, 6-3 atau Peraturan Pengadilan untuk Surat Kabar, 6-3 (Berita Headline The Washington Post 17 Juni 1971).
Perspektif Ekonomi Politik Media – The Post
Salah satu media dalam komunikasi massa yang paling besar pengaruhnya terhadap pembentukan opini publik pada saat itu adalah surat kabar atau koran. Surat kabar juga berperan besar dalam proses demokratisasi sebuah negara.
Dalam kasus Pentagon Papers pada harian The New York Times dan The Washington Post, keduanya memfokuskan perhatian masyarakat terhadap isu politik sensitif yakni publikasi dokumen rahasia negara terkait perang Vietnam.
Dalam perspektif demokrasi, media merupakan pilar keempatnya, artinya media juga merupakan salah satu pilar yang berfungsi sebagai penyangga demokrasi. Koran dapat menyediakan informasi politik sehingga bisa dipergunakan oleh masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya.
Vincent Mosco menjelaskan teori Ekonomi Politik dengan tiga entry concept, yakni komodifikasi, spasialisasi, dan struksturasi. Perspektif ekonomi politik melihat bahwa media tidak lepas dari kepentingan pemilik modal, negara (pemerintah), atau kelompok lainnya. Media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Akibat dari monopoli kepemilikan media dikhawatirkan mampu mengancam kebebasan pers dan pilihan bagi pembacanya.
Pada film The Post ini, pemilik perusahaan tersebut Kay Graham, memiliki peranan penting yang dapat menyeimbangkan antara surplus secara ekonomi dan juga mampu mengambil keputusan mengenai penerbitan pemberitaan yang menentukan dinamika sosial politik secara nasional.
Kay melakukan komodifikasi pada aspek pekerja medianya. Ia memanfaatkan tenaga dan pikiran awak redaksinya secara optimal dengan cara mengkonstruksi pikiran mereka. Meskipun mendapatkan tekanan dari pemilik saham agar tidak menerbitkan Pentagon Papers, namun Kay tetap yakin berita itu layak muat dan bisa membuat sebuah perubahan. Meski mendapatkan tekanan hukum dan politik dari kanan-kiri, Kay berhasil pula meyakinkan pekerjanya untuk membuat berita yang baik.
The Washington Post juga melakukan komodifikasi aspek konten. Mereka berhasil mengubah pesan dari 4000an halaman Pentagon Papers menjadi konten yang penuh makna hingga menjadi pesan yang marketable.
Tak ketinggalan pula aspek Audiens. The Post berhasil menjaga audiens-nya sebagai komoditi penting untuk mendapatkan iklan dan pemasukan karena viral-nya berita Pentagon Papers.
- Spasialisasi
Pada tahapan spasialisasi, The Washington Post mampu menyajikan produknya dalam batasan ruang (pengambilan bukti dari narasumber) dan waktu (deadline koran) secara presisi.
The Post juga mampu menentukan struktur kelembagaan yang tepat dalam memenuhi jaringan dan kecepatan penyampaian produk media kepada khalayak. Pemimpin redaksi Ben Bradlee mampu bernegosiasi dengan pemegang keputusan lain. Sedangkan redaktur senior Ben Bagdikian mampu menggunakan jaringan untuk mendapatkan bukti eksklusif dari narasumber. Kombinasi kedua hal ini menghasilkan kecepatan penyampaian produk pemberitaan headline The Washington Post mengenai lanjutan Pentagon Papers kepada pembacannya.
The Washington Post berbentuk korporasi skala kecil kala itu. Ben Bradlee menyebut korannya sebagai koran lokal, bukan nasional. “No matter what happens tomorrow we are not a little local paper anymore.” ucap Ben. The Post juga tidak memiliki jaringan usaha lain dan bukan sebuah konglomerasi media. Walaupun pada akhirnya The Post melantai di bursa saham ASE.
- Strukturasi
Gagasan Analis militer Amerika Serikat, Daniel Elllsberg yang tidak puas dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Secretary of Defense AS, Robbert McNamara, menyebabkan terbentuknya relasi antara Daniel dan The New York Times serta The Washington Post.
Daniel memiliki ide untuk mempublikasikan temuannya di media arus utama. Hasil akhir dari relasi ini adalah terbentuknya serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan yang diorganisasikan oleh rakyat dan media, yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Hal ini dibuktikan dengan aksi demo ratusan orang di depan Supreme Court saat persidangan The Post dan NYT, serta dibentukannya peraturan pengadilan baru mengenai surat kabar (Court Rules for Newspapers, 6-3).
Analisa Pelajaran Berharga The Post
Ketidakgentaran dalam membeberkan fakta, meski rahasia negara sekalipun, pantas untuk diacungi jempol.
Film The Post ini sangat kental dengan aroma press freedom atau kebebasan pers. Tiga prinsip jurnalisme, yakni: kewajiban akan kebenaran berita, kebebasan dari sumber yang diliput, dan jurnalisme harus membuat yang penting menjadi menarik dan relevan.
Oleh sebab itu, pelajaran yang berharga dari The Post adalah seorang jurnalis dan awak redaksi perusahaan pers wajib mengemban prinsip-prinsip dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah ditetapkan.
Keteguhan hati seorang pemilik perusahaan (Kay Graham) dalam mengedepankan aspek-aspek kebebasan pers serta kepentingan umum, alih-alih memikirkan laba perusahaan dan tekanan yang didapat dari pemilik saham, layak untuk diapresiasi. Meskipun dihadapkan pada konsekuensi hukuman penjara, namun Kay tetap yakin jika kepentingan The Post mempublikasikan Pentagon Papers adalah hal yang lebih utama.
Aspek pekerja media juga bisa menjadi pelajaran berharga. Ketidakgentaran dalam membeberkan fakta, meski rahasia negara sekalipun, pantas untuk diacungi jempol. Dedikasi dan profesionalitas dalam menjalankan tugas jurnalistik menjadi catatan penting.
Isi atau konten juga perlu dijadikan perhatian serius yang bernilai ketika awak The Post berjuang keras untuk mencari narasumber utama dalam kasus Pentagon Papers, bukan lagi dari sumber-sumber sekunder. Redaksi The Post juga sepakat melindungi narasumbernya, demi menjaga privasi dan keamanan, mirip seperti pasal 7 Kode Etik Jurnalistik di Indonesia. Hal ini dilakukan agar independensi pemberitaan tetap terjaga, tidak mendapatkan intervensi dari pihak lain seperti pemerintah dan bahkan pemilik saham perusahaan sekalipun. Selain itu, The Post juga menjadikan konten berita Pentagon Papers menjadi sebuah pesan yang disukai oleh khalayak.
Film ini layak sekali ditonton untuk jurnalis dan kalangan akademisi komunikasi massa. Bagaimana pertarungan antara idealisme dan kebebasan pers melawan kekuatan pemilik saham serta pemerintah yang sedang berkuasa menarik sekali untuk dikaji dan diteliti agar cakrawala berpikir praktis dan teoritis bisa terbentang luas bersamaan.
*Hendra Eka, jurnalis Jawa Pos di Jakarta.