
“The first obligation of journalism is to the truth.”
— Bill Kovach & Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism
Apa yang dinyatakan Kovach & Tom Rosenstiel (2007) menjadi relevan kembali hari ini. Kebenaran dalam jurnalisme bukan hanya apa yang tampak dalam gambar, tetapi juga tentang siapa yang berdiri di baliknya, siapa yang memberi makna, dan siapa yang dilupakan. Kebenaran bukan milik satu nama, melainkan hasil dari proses yang jujur.
Dalam dunia foto jurnalistik, satu detik bisa menjadi sejarah. Gambar bisa lebih tajam dari kata, dan lensa bisa menjadi saksi paling jujur dari tragedi maupun harapan. Namun, siapa yang berdiri di balik lensa itu—siapa yang menekan tombol rana—sering kali tidak hanya menyandang peran sebagai pengambil gambar, melainkan juga sebagai penulis puisi realitas.
Clement Greenberg (2015) Dalam bukunya Photography: A Critical Introduction, disebutkan bahwa seni dalam fotografi pada dasarnya merupakan seni literer sebelum menjadi seni visual sepenuhnya. Foto yang berhasil adalah foto yang mampu bercerita, bukan hanya yang indah secara estetis. Dengan demikian, fotografer dokumenter dapat dipandang sebagai sosok yang menulis narasi—bukan dengan kalimat, tetapi dengan cahaya, gestur, dan momen yang ditangkap.
Peran ini menjadi semakin penting di tengah arus informasi visual yang deras. Keputusan World Press Photo untuk menangguhkan atribusi tunggal atas foto ikonik The Terror of War, yang selama ini dikenal sebagai karya Nick Út, bukan sekadar revisi administratif. Ini adalah refleksi kritis tentang bagaimana sejarah dibentuk, dicatat, dan diklaim. Tindakan ini mengajak publik untuk tidak hanya memuja karya, tetapi juga menguji ulang asal-usulnya, menggali konteksnya, serta mengakui banyaknya tangan dan perspektif yang terlibat dalam penciptaannya.
Dalam situasi ini, fotografer lokal seperti Nguyễn Thành Nghệ dan Huỳnh Công Phúc yang selama ini luput dari sorotan, mulai mendapatkan pengakuan. Kamera mereka mungkin tidak tercatat di panggung Pulitzer, tetapi justru merekalah yang berada paling dekat dengan peristiwa, dengan kedekatan yang tak bisa dibeli oleh akreditasi agensi berita internasional.
Marshall McLuhan (2013) dalam Understanding Media menyebut bahwa perkembangan teknologi elektrik telah mendorong keterlibatan manusia yang lebih dalam terhadap dampak sosial dari media. Di era ini, setiap tindakan media tidak lagi bisa bersifat netral atau terpisah; ia menuntut partisipasi penuh, empati, dan kesadaran terhadap konsekuensinya. McLuhan menegaskan bahwa seniman—termasuk fotografer—adalah mereka yang paling mampu memahami perubahan pola persepsi akibat teknologi. Dengan kesadaran itu, fotografer dapat menjalankan fungsinya tidak hanya sebagai pencatat, melainkan juga sebagai penyaring makna dan pembentuk kesadaran sosial.
Menjadi pujangga dalam berita bukan sekadar tentang menciptakan gambar yang mengharukan, tetapi juga menjaga integritas, membuka ruang dialog, dan mengakui keragaman suara dalam produksi sejarah visual. Foto ikonik itu tetap kuat, tetap memilukan. Tapi kini, kita diajak melihat lebih dalam: bahwa di balik satu gambar, ada banyak lensa, banyak tangan, dan banyak versi kebenaran.
Mungkin selama ini kita terlalu mengira bahwa kecepatan pengiriman file ke kantor berita menentukan kebenaran. Padahal, kedekatan emosional dan keterlibatan sosial justru lebih layak dianggap sebagai nilai jurnalistik utama. Dunia jurnalisme visual selama ini dibentuk di atas fondasi yang sering tak kasat mata—akses yang terbatas, bias institusional, serta dominasi narasi global terhadap suara lokal.
Pada era ketika teknologi bisa menciptakan foto tanpa kamera, tanpa peristiwa, bahkan tanpa wartawan—masihkah kita yakin pada siapa yang “memiliki” sebuah gambar? Apakah ini saatnya memisahkan antara karya dan klaim, antara estetika dan etik, antara penghargaan dan pengakuan?
“A photograph may show us something, but it cannot tell us everything. It depends on who took it, why, when, and for whom.” — David Campany, On Photographs (2020)
Kita terlalu sering percaya bahwa gambar adalah bukti mutlak, padahal foto juga bisa menyimpan bias. Ia bisa menampilkan luka dunia, tapi menutupi siapa yang memotret. Ia bisa memenangkan penghargaan, namun melupakan siapa yang pertama kali berdiri paling dekat dengan bahaya.
Maka pertanyaannya bukan hanya tentang apa yang kita lihat dalam foto, tetapi juga: siapa yang kita izinkan untuk dikenang, dan siapa yang terus-menerus dihilangkan dari sejarah?
Foto jurnalistik adalah ruang pertemuan antara kenyataan dan penggambaran, antara luka dan cahaya, antara kedekatan dan klaim. Sebagaimana ditunjukkan dalam buku Photography and Ontology (2019), fotografi bukanlah sekadar alat dokumentasi, tetapi merupakan medium yang memiliki kapasitas ontologis untuk mengganggu, menggugah, dan mengungkap lapisan-lapisan tersembunyi dari sejarah, ingatan, pengalaman, dan identitas. Dalam sifatnya yang dapat diperbanyak dan dialihkan, fotografi tak hanya mencatat, melainkan juga membuka kemungkinan afeksi, relasi, dan bahkan imajinasi sipil baru yang melampaui batas-batas negara dan kekuasaan representasi .
Sebagai pewarta foto, saya meyakini bahwa foto yang baik bukan hanya yang “tampak benar,” tetapi yang sanggup menciptakan hubungan etis antara subjek, fotografer, dan penonton. Foto yang mengguncang bukan karena dramatisasinya, tetapi karena keberanian fotografernya hadir secara utuh—secara empatik, reflektif, dan bertanggung jawab. Di tengah dunia yang makin skeptis terhadap kebenaran visual, dan ketika kamera bisa digantikan algoritma, maka satu hal tetap tak bisa dihapus yakni niat dan kesadaran manusia di balik rana.
Menjadi pujangga dalam berita adalah tentang kejujuran yang tidak bising. Tentang keberanian untuk tidak mengklaim satu-satunya versi. Dan tentang keyakinan bahwa foto, sekecil apapun, bisa menjadi cahaya—meski hanya sekejap—di tengah kelamnya realitas yang sering dikaburkan.
Oleh: Aprillio Akbar – Pewarta Foto LKBN ANTARA
