Paradigma Estetika Foto Jurnalistik Kontemporer (2-habis)

2 Paradigma Estetika 01 copy

Fotografi jurnalistik merupakan alat untuk membekukan realitas. Foto jurnalistik menjadi suatu representasi identitas yang direproduksi oleh pewarta foto dengan memediasi ruang bagi audien/masyarakat tontonan (the spectacle society). Pergeseran estetika foto jurnalistik dalam kategori open format pada kompetisi Word Press Photo 2022 ini terjadi karena perkembangan teknologi yang cepat. Keterbatasan fotografi dalam masa modernisme terdahulu itu, sekarang ini dapat tereliminasi dengan kemajuan teknologi digital fotografi yang juga mempengaruhi bentuk presentasinya. 

Di Indonesia sendiri, kategeri open format ini belum diaplikasikan dalam ajang pengharagaan tertinggi untuk pewarta foto yang diselanggarakan oleh Pewarta Foto Indonesia yakni Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI). Meskipun secara praktik dilapangan banyak pewarta foto yang mempraktikan tipe dan jenis karya foto kategori open format. Kategori open format dalam World Press Photo ini menjadi sebuah estetika kontemporer bagi perkembangan foto jurnalistik.

Untuk melihat apakah foto jurnalistik termasuk dalam kaidah fotografi kontemporer, saya akan membedah beberapa karya foto jurnalistik dari pewarta foto dan fotografer documenter di Indonesia dengan menggunakan sembilan kategori jenis fotografi kontemporer yang disampaiakan Charlotte Cotton (2020) dalam bukunya “The Photograph As Contemporary Art (Fourth Edition)”.

Kategori pertama, “if this is art”, mempertimbangkan bagaimana fotografer mengatur pertunjukan, skenario, dan kejadian untuk kamera. Gambar adalah tujuan akhir, kesaksian dari suatu tindakan yang tidak akan pernah terulang. Dalam kaidah foto jurnalistik, pewarta foto dalam kategori ini berperan penting, karena tugasnya seperti sutradara. Persitiwa yang ada didepan bidikannya layaknya pemain-pemain film. Pewarta foto haru jeli mengatur harmonisasi dari hal-hal antah-berantah yang berlangsung sepersekian detik. Namun bukan sampai di hal itu saja pewarta foto berperan, untuk kebutuhan editorial, fotografer harus mampu membuat karya “staged photography” bukan sekadar foto potraitur belaka. Staged Photogrpahy banyak yang salah kaprah menyamakan dengan fotografi panggung (stage photography). Gilles Mora menerangkan bahwa yang dimaksud sebagai Staged Photography sebagai berikut:

When a photographer fabricates or alters the subject in front of the camera in order to obtain spesific results, he becomes in effect a director, whether working with live models or inanimate props. The directional approach emphasizes the fictional nature of the image, building on many earlier attemps in the history of photography to go beyond the limited notion of the medium of the passive recorder of objective reality and give the operator’s imagination free play“. (Mora, 1998)

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa staged photography adalah sebagai upaya fotografer untuk menata dan mengatur subjek, teknik fotografi, alur narasi untuk menampilkan perubahan-perubahan yang terjadi dan penyajian karya untuk masyarakat tontonan. Seperti pada gambar 1 karya foto berjudul Mafia Santri yang merupakan karya dari pewarta foto Riska Munawarah bercerita tentang kehidupan santri putri. Karya fotografi Riska ini menampilkan menampilkan praktik dari staged photography. Kemampuan Riska Munawarah sebagai sutradara yang menentukan pose, gesture, kostum, dan teknik fotografi untuk memproduksi karya tersebut. 

Kategori kedua, “Once Upon A Time” praktik fotografi ini sering digambarkan sebagai tableau atau tableau-vivant photography: gambar yang berdiri sendiri dengan narasi piktorial yang dimuat ke dalam bingkai tunggal. Sutrisna dan Sabana (2015) menambahkan bahwa terkait kategori ke dua ini berkontribusi besar dalam ide estetika fotografi dengan karya-karya yang terwakili dalam ranah ini, meliputi berbagai ilustrasi buku, foto-foto reklame dalam ukuran besar, foto-foto aktivitas manusia yang pencahayaannya dramatis.

Screen Shot 2022 05 28 at 16.03.05
Beberapa buku tentang Fotografi. Foto: Koleksi pribadi

Posisi foto jurnalistik dalam kategori ini sangat erat kaitnya dengan fungsi foto jurnalistik yang terkadang karya fotonya digunakan untuk kebutuhan komersial. Misalnya seperti dalam pembuatan buku foto, buku teori fotografi, dan lain sebagainya. Kebutuhan karya foto jurnalistik terutama untuk penempatan sampul depan sebuah buku, sangatlah selektif.. Pemilihan karya foto jurnalistik kaitanya dengan kebutuhan ilustrasi buku sangatlah selektif, desainer dan si pencipta buku itu harus memilih karya foto yang dapat mewakali seluruh isi buku itu baik secara estetika fotografi maupun konten yang dimuat dalam karya foto jurnalistik. Kerja antara tim editorial buku, desainer buku, pewarta foto dan pencipta buku itu sendiri harus melebur menjadi satu kesatuan.

Selanjutnya kategori tiga memberikan sumbangsih besar untuk estetika fotografi. “Deadpan” yang memiliki hubungan dengan masalah seni fotografi bertema drama visual atau hiperbola. Foto-foto dalam kategori ini sering mengundang pemirsa untuk merenungkan interkoneksi antara dunia buatan dan alam. Tema umum ini merupakan bentuk “Theatricality” dari aksi manusia. 

Estetika “deadpan” ini sangat popular pada tahun 1990an, dengan spesifikasi menggunakan landscape dan arsitektural sebagai subjek atau pendekatan utama. Karya berjudul Towards New Landscapes dari seorang fotografer lepas berbasis di Yogyakarta, Kurniadi Widodo menjadi salah satu contoh karya untuk kategori ini. Karya tersebut merupakan on going project yang dimulai dari tahun 2018 hingga saat ini. Towards New Landscapes merupakan karya fotografi yang menggunakan pendekatan landscape dan arsitektural. Karya yang pernah dipamerkan di Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 itu bercerita tentang kemampuan fotografi sebagai upaya untuk menangkap fenomena pariwisata kontemporer di Indonesia beberapa tahun terakhir dan pengaruhnya terhadap berbagai isu, antara lain pembangunan ekonomi berkelanjutan, perubahan fungsi lahan dan ruang, dan persepsi identitas diri, serta dampak lain yang ditimbulkan yang belum dipetakan.

Sementara itu, kategori ke empat “Something and Nothing” menunjukkan bagaimana fotografer kontemporer mengubah objek dan ruang yang paling biasa menjadi gambar yang bermakna serta menimbulkan perasaan bahwa pemandangan yang paling akrab layak untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Sutrisna dan Sabana (2015) menjelaskan lebih lanjut bahwa kategori ini menekankan kemampuan fotografer untuk memiliki suatu gagasan seni yang berprospek imajinatif luas terhadap benda yang diaggap biasa saja seperti seperti halnya sampah di jalan, kamar, atau pakaian kotor, dll.

Screen Shot 2022 05 28 at 16.03.13
Waste Less
Fotografer: Sutanto Nurhadi Permana.
Sumber: permata-photojournalistgrant.org/portfolio/waste-less/ (diakses pada 16 Mei 2022, Pukul 16:06 WIB).

Konsep pemikiran kategori ke empat ini sangat penting bagi pewarta foto untuk berfikir kritis terhadap apa yang akan di rekam memlalui jendela rananya. Dengan demikian, pewarta foto tidak terjebak hanya pada ‘gambar aman’ semata dan lebih berani untuk mengeksplor hal di sekitarnya serta menanyakan kembali apa yang di rekam. Gambar 4 ini merupakan karya foto dari pewarta foto asal Bandung, Sutanto Nurhadi Permana. Karya berjudul Waste Less itu bercerita tentang ke gerakan zero waste. Sutanto Nurhadi Permana menggunakan pendekatan fotografi still life untuk mengemas konsep tersebut. Objek sampah tersebut dikemasnya secara rapi layaknya karya foto dari Sutanto Nurhadi Permana layaknya benda yang memiliki nilai jual tinggi di pusat perbelanjaan. Apa yang Sutanto Nurhadi Permana lakukan itu merupakan bentuk dari kategori ke empat “Something and Nothing”, karena sesuatu yang dianggap sederhana justru memliki nilai lebih jika kita memikirkan secara kritis apa dan kenapa itu penting untuk direkam.

Selanjutnya kategori yang ke lima ialah “Intimate Life”. Pada kategori ini lebih melibatkan tentang hubungan yang lebih intim, emosional dan personal manusia. Kategori ini lebih menitikberatkan pada tema-tema tentang kehidupan sehari-hari dilingkungan terdekat. 

Tak banyak pewarta foto yang berani mengambil tema “Intimate Life” ini karena terkadang sebagian besar pewarta foto terlalu sibuk berkutat dan ambisus pada tema-tema besar, sehingga melupakan hal-hal terdekat disekeliling kita yang sesungguhnya dapat memicu untuk membuat proyek karya foto lebih intim dan bisa berdampak besar serta nantinya karya tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara jalan cerita maupun estetika fotografinya. Kategori ke lima ini bisa menjadi refleksi bagi pewarta foto untuk lebih memikirkan kembali alasan membuat sebuah proyek foto.

Screen Shot 2022 05 28 at 16.03.20
Tangkapan layar salah satu karya foto kategori open format di World Press Photo.
Sumber: worldpressphoto.org/collection/photo-contest/2022/yael-martinez/1  (diakses pada tanggal 17 Mei 2022, Pukul 05:47 WIB).

Kategori ke enam yakni “Moment In History” yang mendorong karya foto dokumenter ke dalam dunia seni rupa kontemporer. Sutrisna dan Sabana (2015) menambahkan pada kategori ini terdapat foto-foto dengan isu-isu dari pergolakan politik dan manusia, bencana sosial maupun ekologi. 

Secara garis besar pada kategori ini, seorang pewarta foto dituntut untuk menguasi bentuk artistik dari karya yang dikerjakkannya. Bentuk presentasi yang ada dalam kategori open format di World Press Photo menjadi contoh terbaik tentang perpaduan antara karya foto jurnalistik yang menggunakan idiom-idiom seni rupa kontemporer, sehingga memunculkan bentuk estetika baru bagi dunia foto jurnalistik. Foto jurnalistik yang sangat ortodok menemukan bentuk baru melalui pemikiran fotografi kontemporer ini (bagi yang mau menerimanya).

Kategori ke tujuh “Revived and Remade”, menjelaskan mengenai eksplorasi praktek fotografi terbarukan yang memanfaatkan kemajuan teknologi pencitraan. Jika dilihat dalam kacamata foto jurnalistik kategori ini bisa menjadi ide untuk penciptaan karya foto yang menitikberatkan pada foto-foto masa lampau (foto arsip) sebagai ide dan gagasannya. Sehingga, pewarta foto memiliki tugas untuk riset dan melakukan penelitian proyek-proyek fotografi baik jangka pendek ataupun jangka panjang. 

Kemudian ke delapan kategori “Physical and Material”. Kategori lebih memposisikan fotografi sebagai medium yang menitikberatkan aktivitas kehidupan sehari-hari yang dengan mudah dapat diabadikan pada era fotografi digital dan teknologi internet. 

Hadirnya teknologi internet dalam dunia foto jurnalistik ini sangat menguntungkan bagi kerja pewarta foto, karena mampu untuk mengirimkan berita dimanapun kapanpun selama sinyal internet ada. Dalam padangan fotografi kontemporer, hadirnya teknologi internet mempengaruhi bentuk presentasi dari foto jurnalistik. Kehadiran bentuk fisik dan material sebuah foto yang tercetak perlahan mulai menghilang dan digantikan dengan bentuk-bentuk digital yang lebih interaktif.

Screen Shot 2022 05 28 at 16.04.00
Gambar 9. Tangkapan layar penggunaan avatar (3D) pada karya fotografi Jonas Bendiksen berjudul The Book of Veles.
Sumber: worldpressphoto.org/collection/photo-contest/2022/Jonas-Bendiksen/4
(diakses pada 17 Mei 2022, Pukul 06:30 WIB)

Selanjutnya kategori terakhir “Photographicness” yang merupakan pengembangan dari kategori ke delapan. Kategori ini lebih mencatat bagaimana karya fotografi telah masuk ke dalam budaya digital. Dalam hal ini posisi fotografi menampilkan karya berbasis gambar yang mengacu pada konsep patung dan lukisan seperti penggunaan 3D modeling sebagai bentuk presentasi akhir dalam artian ini karya fotografi dicetak dalam bentuk 3 dimensi. 

Jika dalam foto jurnalistik, bentuk presentasi akhir 3 dimensi untuk saat ini di Indonesia sendiri belum ada. Namun, jika dilihat dari konsep cetak karya foto jurnalistik 1:1 banyak dilakukan. Dalam kategori open format ini juga ada karya foto dari pewarta foto Jonas Bendiksen yang berjudul The Book of Veles. Karya foto tersebut kisah tentang produser berita palsu di kota Veles yang menjadikannya contoh bagaimana informasi nakal dan “kebenaran alternatif” adalah kekuatan yang terus berkembang, dan yang tidak mudah dikalahkan.

Dalam karya tersebut Jonas Bendiksen menampilkan arsip-arsip foto dan foto lokasi yang ia buat. Selain itu Jonas Bendiksen juga menampilkan potret orangorang di dalamnya yang ia buat menggunakan 3D animasi (avatar) sebagai sebuah reka adegan bagaimana proses berita bohong itu diproduksi.

Evaluasi & Simpulan

Fotografi jurnalistik merupakan konstruksi realitas atas kehidupan yang mencatat perjalanan evolusi kebudayaan, karenannya foto jurnalistik tidak hadir dari ruang hampa. Kategori fotografi kontemporer yang disampaikan oleh Charlotte Cotton (2022) itu bisa menjadi panduan bagi pewarta foto untuk lebih peka serta tidak telalu kaku dalam membuat sebuah karya foto jurnalistik baik tunggal maupun cerita/esai. Fotografi sendiri sebagai ilmu terapan sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan lintas disiplin ilmu yang secara praktik berimplikasi pada foto jurnalistik yang memicu rasa tanggung jawab akan bentuk artistik yang dipilih sebagai bentuk presentasinya

Jika ajang kompetisi bergengsi kelas internasional World Press Photo mampu menghadirkan kategori open format dalam perhelatanya. Saya rasa itu bisa menjadi contoh baik untuk diterapkan di Indonesia, baik dari segi kompetisi maupun mampu untuk terpublikasi di media-media arus utama. Dengan demikian, apa yang dilakukan itu bisa menjadi ajang apresiasi dan ruang-ruang bagi dunia foto jurnalistik di Indonesia untuk terus berkembang dan mampu bersaing di kancah

global. 

Daftar Pustaka

Cotton, C. (2020). World of Art: The Photograph as Contemporary Art (Fourth edi). Thames & Hudson Inc.

Mora, G. (1998). Photo Speak: A Guide to the Ideas, Movements, and Techniques of Photography, 1839 to the Present. Abbeville Press.

Sutrisna, M., & Sabana, S. (2015). Representasi Foto Keluarga: Ekspresi Seni

Kontemporer pada Abad ke-21. Panggung, 25(3), 279–291.

https://doi.org/10.26742/panggung.v25i3.24

World Press Photo. (2021). 2022 Contest categories.

https://www.worldpressphoto.org/contest/2022/categories