Oleh: Hendra Eka (@_hendraeka)*
Tak banyak fotografer yang sungguh-sungguh ‘niat’ berduet dengan penulis untuk menghasilkan buku. Begitu pula sebaliknya, tak banyak penulis yang pusing memikirkan pentingnya elemen visual untuk menyempurnakan gugus ide dalam karyanya. Buku fotografi yang selama ini menggelinding, biasanya cenderung mandeg dalam kesan sebagai koleksi jepretan atau sekedar album liputan. Yang berhasil ‘nyantol’ di ingatan lantaran isinya kokoh membawa pesan, rasanya bisa dihitung dengan sebelah tangan.
Tahun ini, duo Sumatera fotografer Muhammad Fadli dan penulis Fatris MF akhirnya sukses menggenapi angka yang sedikit itu. The Journal Banda, karya jurnalistik kolaborasi mereka berdua yang pekat beraroma sejarah, pekan lalu (12/11) diganjar penghargaan prestisius oleh The Paris Photo and Aperture Foundation. Tak tanggung-tanggung, buku ini menyabet penghargaan tertinggi, PhotoBook Of The Year, mengalahkan 800-an buku dari seluruh dunia!
Duduk sebagai dewan juri dari Aperture Foundation, organisasi nirlaba yang berdiri pada 1952, adalah Aurelien Arbet, Daniel Blaufuks (seniman visual), Taous R Dahmani (sejarawan seni), Fannie Escoulen (Kepala Departemen Foto Kementerian Kebudayaan Perancis), serta Tatyana Franck (Direktur Museum Elysee). Mereka menilai, buku ini mampu menggabungkan bentuk narasi yang kuat dengan foto-foto menarik dari cerita transatlantik. Dikutip dari situs aperture.org, Taous R Dahmani menjelaskan bahwa karya ini menyoroti hal-hal yang telah dilewatkan dalam beberapa tahun terakhir. “Yang terpenting, pemenang menyajikan investigasi individu yang kuat, yang kisahnya belum pernah diceritakan dengan menggunakan medium buku untuk menyebarkan suara- suara itu secara lebih luas”, ujar Taous.
Proyek dokumenter jangka panjang ini didesain khusus oleh Jordan Marzuki, alumni The Basel School of Design, Swiss. Jordan menempelkan metafora kulit ari buah pala di sampul terdepannya. Kemudian seolah-olah kulit buah berharga ini “membungkus” Crishtopher Cole, Kapten Angkatan Laut Kerajaan Inggris, pemimpin pasukan perang yang merebut Banda dari Belanda.
Mengaitkan dengan Symbolic Interactionism Theory yang dipopulerkan George Herbert Mead, buah pala ini menunjukkan simbol dalam lingkaran kehidupan sosial di Banda pada kala itu.
Jurnal Banda adalah kisah tentang dampak penjajahan selama berabad-abad. Ini juga kisah tentang mereka yang ditinggalkan dan dilupakan oleh waktu. Juga tentang perbudakan, kemarahan, serta perlawanan. Dari pulau Banda ini pula, Indonesia kesohor sebagai gudang pala terbesar yang tak ada habisnya, lama sebelum Timur Jauh terpetakan dulu dan nama Indonesia dicetuskan oleh para pendiri negara. Pulau kecil ini jugalah yang menjadi pemantik penjajahan serta monopoli global, yang menginisiasi jalur rempah dan kemalangan penduduk pulaunya, penyulut genosida massal pertama yang pernah terjadi di Hindia Timur.
Dengan segala kesulitan merunutkan cerita lima abad lalu, pastilah tak banyak penulis yang telaten membukukan kisah tajam mengenai sejarah kolonial daerah terpencil di Indonesia. Fatris dan Fadli mungkin sudah bosan dengan ulasan macam ini, namun memang benar: Dengan gaya tulisan dan foto “seharum” Jurnal Banda, rasanya tak heran jika buku ini diganjar jadi yang terwahid. Banda, kepulauan yang jika dilihat dari udara menyerupai daun-daun rontok berserakan di atas seprai biru ini, dikemas rapi dan disajikan secara terang benderang oleh keduanya. Secara keseluruhan, buku ini memiliki narasi yang renyah dan sangat mengaduk emosi, namun tetap didukung rujukan sejarah yang mumpuni, membuat buku ini bisa menjadi semacam pemanasan yang menyenangkan sebelum menapaki “Pulau Run” karya Giles Milton, yang terjemahannya malah tidak “seluwes” tulisan-tulisan Fatris di buku Jurnal Banda ini.
Plus, jalan visual khas Fadli dengan 150 rol film low-contrast dan tone yang hangat seakan benar-benar membawa kita menginjakkan kaki sembari dihembus angin sore di Pulau Banda. Banda seakan bagai cukilan surga yang terlupakan, yang tidak terjamah peradaban. Ketika Manhattan, yang dulunya mau ‘ditukar guling’ dengan Banda, sekarang girap gemerlap, Banda tetap tenang bersahaja di tengah-tengah samudera.
“Tuhan menciptakan Banda untuk pala, dan melalui pala kita memahami Banda”, tulis Fatris.
*Oleh: Hendra Eka, Pewarta Foto Jawa Pos
Judul : The Banda Journal
Penulis : Fatris MF dan Muhammad Fadli
Tebal : 240 halaman
Cetakan : Pertama, April 2021
ISBN : 978-1-7354521-0-4