Tour de France…
Mendengar tiga kata tersebut, pikiran kita akan terbawa pada perhelatan akbar tingkat dunia dimana para pebalap sepeda dan tim balap beradu teknik dan strategis untuk memperoleh posisi prestisius diantara pebalap terbaik seluruh dunia.
Ajang lomba yang digelar sejak 1903 tersebut seakan menjadi magnet bagi pesepada seantero jagat, tak terkecuali pewarta foto seluruh dunia. Bukan hal yang mudah untuk bisa terlibat pada ajang tersebut. Kali ini, pewarta foto Jawa Pos, Hendra Eka akan berbagi pengalaman seputar liputannya. (Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di Facebook PFI tanggal 18 Agustus 2015).
Oleh: Hendra Eka
Memotret momentum sepersekian detik di ujung lensa
Suhu 14 derajat menyambut kedatangan saya saat tiba di kawasan pegunungan Alpe d’Huez, dibagian timur Perancis. Setelah menumpang bus selama 4 jam dari kota transit Jenewa, Swiss, akhirnya sampai juga di pegunungan legendaris Alp’s –sebutan Alpe d’Huez– ini.
Di kawasan setinggi 1.850 meter di atas permukaan laut itu, tanjakan terakhir Tour de France (TdF) 2015 akan berakhir. Itu merupakan etape nomer 20 dari total 21 etape yang dilombakan dalam balapan sepeda paling terkenal di dunia tersebut. Etape pamungkas nomer 21 digelar secara kriterium di Paris.
Pemandangan berupa gunung dan jalanan yang sangat spektakuler bisa dilihat dari ketinggian Alp’s. Seakan-akan seperti sepotong spaghetti yang dijatuhkan secara natural ke bawah. Sebanyak 21 hairpin bends (tikungan tusuk konde) mewarnai pola tikungan pegunungan epic itu.
Ada quote terkenal yang mengatakan, ’’Win Alpe d’Huez and you will be immortal” yang artinya kurang lebih; “Kamu juara di Alp’s, maka namamu akan abadi”. Nama beken yang pernah menjadi raja Alp’s adalah Lance Amstrong dan Fausto Coppi. Nama pertama adalah pemenang 7 kali berturut-turut TdF. Namun sayangnya dihilangkan karena terkena skandal doping.
Di TdF 2015, yang menjadi raja Alpe d’Huez adalah putra daerah. Namanya Thibaut Pinot, pemuda 25 tahun kelahiran Melisey, Perancis. Alpe d’Huez dalam bahasa Perancis termasuk kategori HC alias hors categorie atau beyond category yang berarti terberat.
Alasannya, ada 21 tikungan eksotis yang bisa jadi penentu untuk mengambil gambar. Namun, di etape ini fotografer rentan kehilangan momen terbaik karena jarak yang sangat pendek untuk ukuran balap sepeda, yakni hanya 13,8 km. Itulah kenapa, fotografer perlu untuk melakukan riset terlebih dahulu sebelum menekan shutter kameranya
Bagi fotografer yang belum pernah ke sana misalnya, bisa menentukan spot melalui sudut kemiringan pegunungan. Salah satu lokasi favorit ada di tiga kilometer awal yang memiliki kemiringan rata-rata 8,1 persen. Di sana pula ada tanjakan dan tikungan yang terkenal yaitu Dutch Corner.
Istilah tikungan Belanda memang pas disematkan di jalanan itu karena ribuan orang asal negeri kincir angin memadati setiap sisi jalan. Ada yang tinggal di hotel, mendirikan tenda, sampai tidur di mobil karavan. Tikungan nomor 7 itu juga sangat fenomenal, di sisi kirinya ada gereja tua legendaris dan juga pemakaman kuno.
Karena label lokasi favorit inilah membuat fotografer sulit mendapatkan spot bagus. Jalanan yang sempit, penuh dengan suporter dan mobil caravan membuat mobil dan motor marshal sangat sulit untuk berhenti. Belum lagi bau menyengat alkohol dan ulah jahil dari para fans yang menggangu
Pada perlombaan kali ini, saya mendapat support dari marshal yang menggunakan mobil Jaguar XF Station Wagon. Semakin sulit untuk memotret karena tidak selincah motor. Ketika jalan menyempit, mobil tidak bisa menyalip pembalap sehingga spot untuk memotret sangat terbatas.
Padahal, rata-rata media Perancis sudah memiliki motor pribadi yang memang di-setting untuk memotret balapan itu. Media besar L’equipe misalnya, menurunkan 4 orang fotografer yang masing-masing mengendarai motor BMW R1150 RT. Panitia juga menyediakan motor ekstra, namun hanya untuk beberapa media saja dengan seleksi yang cukup ketat supaya tidak mengganggu jalannya lomba.
Di Alpe d’Huez, biasanya sejumlah fotografer akan menunggu ditempat yang paling curam atau paling tinggi. Kesempatan untuk mengambil gambar yang bagus lebih besar karena pembalap akan melambat. Rata-rata di tanjakan curam, pembalap akan melintas tidak lebih dari 10 detik.
Momen itu harus dimanfaatkan dengan baik karena Pembalap hanya melintas sekali saja. Berbeda dengan kriterium atau team-time-trial (TTT) yang akan berputar puluhan kali ditempat sama sebelum finis. Momentum beberapa detik inilah yang wajib menjadi pertimbangan spot pengambilan foto. Seperti kutipan beberapa kawan fotografer yang ngepos di KPK, kalau sampai terlambat, no image today. Hehehe…
Persiapan dan Pemilihan Alat
Penggunaan 2 buah kamera sangat memudahkan kita untuk memotret event sepeda seperti itu. Bekal lensa wide 16-35mm, lensa tele 70-200mm, dan super tele 300mm bisa menjadi senjata andalan. Selain itu, perlengkapan, obat-obatan, dan kesiapan fisik di dataran tinggi dengan suhu ekstrem harus dipersiapan sejak lama.
Untuk memastikan segalanya berjalan lancar, media tempat saya bekerja, Jawa Pos, sudah memastikan segala urusan hotel, visa, dan kelengkapan dokumen lainnya hampir 1 tahun sebelum event dimulai. Bisa dipastikan seluruh hotel akan fully booked pada hari H balapan. Selama 12 hari meliput di Perancis dan Belgia, saya berpindah kota sebanyak 3 kali, sudah sepatutnya untuk urusan administrasi wajib diselesaikan selagi di Indonesia.
Bertarung dengan supporter mendapatkan spot terbaik
Sepeda menjadi olahraga rakyat di negeri Napoleon ini. Sejauh mata memandang, kita bakal melihat banyak orang menggowes sepedanya. Mulai anak sekolahan, hingga pekerja kantoran berpakaian necis memacu pedalnya di jalanan yang mulus. Tak heran, supporter Tour de France ini menjadi luar biasa hebohnya.
Menurut catatan Wikipedia, Walikota Alpe d’Huez, Eric Muller mengatakan tidak kurang dari 400ribu orang memadati jalanan sempit itu ketika lomba berlangsung. Bahkan, saking gilanya dengan sepeda dan takut kehilangan spot parkir, jejeran mobil caravan sudah terparkir rapi 1 minggu sebelum para pembalap lewat! Bisa dibayangkan betapa padat dan sulitnya mencari spot bagus untuk memotret.
Beradu cepat mencari spot yang bagus dengan fans membuat kesabaran kita diuji. Sampai 5 jam sebelum pembalap lewat, saya sudah mager di garis finis. Lengah sedikit, hilanglah spot tersebut.
Balapan sepeda memang berbeda dengan olahraga lain yang menyediakan spot khusus untuk pewarta foto. Jika di sepak bola hanya bisa memotret dari sisi-sisi pinggir lapangan, di balap sepeda bisa dimana saja. Hanya garis finis yang menyediakan spot untuk wartawan foto.
Begitu pula dengan penonton, mereka bisa mendekat hingga puluhan centimeter dari pembalap. Gara-gara itu, juara TdF 2015, Chris Froome sampai mendapatkan lemparan air kencing tepat dimukanya oleh seorang fans.
Nah, fisik warga Eropa yang lebih besar dari kebanyakan warga Asia membuat pertarungan semakin berat. Beberapa kali ketika pembalap lewat, sejumlah fotografer bertengkar dengan fans. Diseruduk, dijungkalkan, bahkan ada yang sengaja berdiri di depan lensa fotografer. Sungguh menjengkelkan. Tidak jauh berbeda ketika memotret koruptor di KPK. Harus adu fisik sana-sini. Hehe.
Namun, sekali lagi, hal tersebut bisa kita siasati dengan riset yang baik. Mengenali wajah pembalap dengan detail dan timing kapan harus bergerak menuju spot yang lain wajib diperhatikan. Beberapa pembalap hanya memasang nomor punggung, tanpa nama atau nomor di bagian depan.
Kaca mata pun kadang mengecoh kita. Membuat bertanya-tanya, siapakah pembalap tersebut. Apalagi, kostum dan sepeda yang dipakai pada satu tim yang sama hampir mirip semua. Tapi, tiap pembalap pasti punya ciri khas tersendiri. Misalkan Chris Froome, yang selalu menundukan kepala saat balapan. Alasannya, ia memiliki tulang punggung melengkung dan leher yang sering sakit.
Dengan menunduk, ia akan mendapatkan asupan oksigen lebih banyak. Selain itu, kita juga bisa menandai dengan warna jersey yang digunakan. Kuning untuk pimpinan klasemen, hijau untuk general classification, polkadot untuk raja tanjakan, dan pembalap muda terbaik memakai jersey putih.
Saat ini, banyak pewarta foto yang hanya memotret pertandingan olahraga tanpa melihat siapa yang dipotret. Yang penting, foto bagus tanpa mengindahkan siapakah sosok yang difoto. Kurang pas rasanya jika seorang pemain cadangan yang kurang berkontribusi terbit di sebuah media.
Apalagi, kalau sampai mengalahkan bintang lapangan seperti kapten tim atau top scorer yang jauh lebih berkontribusi dan memiliki proximity atau kedekatan dengan pembaca. Riset pada olahraga yang dipotret sangatlah penting, sebab lebih indah rasanya jika kita mengabadikan momen dengan seorang sosok juara berada di tengah-tengah frame.
Foto dan teks oleh Hendra Eka, bekerja di Jawa Pos sejak 2009. Sekjen PFI Pusat 2019-2022. Dapat ditemui di @_hendraeka