Foto Jurnalistik Oksigen Demokrasi Indonesia

solidaritas pewarta foto 2p49 dom
Sejumlah pewarta foto dari berbagai media memakai topeng tersangka mafia pajak Gayus Tambunan saat melakukan aksi solidaritasi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Senin (15/11). Aksi tersebut merupakan bentuk dukungan kepada pewarta foto Kompas Agus Susanto yang berhasil memotret Gayus saat menonton pertandingan tenis di Bali, serta memberikan informasi kepada masyarakat bahwa foto jurnalistik berperan menyampaikan fakta dan bukan rekayasa. FOTO ANTARA/Prasetyo Utomo/ama/10

Oleh: Hendra Eka*

Tak lama lagi masyarakat Indonesia akan disuguhi ajang lima tahunan yang kerap disebut sebagai pesta demokrasi, yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024.  Momen ini sudah tentu menjadi pusat perhatian khalayak, tak terkecuali pewarta foto.

Sebagai perwakilan mata dan telinga publik, pewarta foto merupakan garda terdepan dalam menyampaikan pesan-pesan visual. Dengan segala macam jurus memotret, rekaman kejadian yang unik, sedih, haru, tragis hingga berbahaya kerap menjadi sasaran bidik. Peran dalam merekam proses demokratisasi di Indonesia ini perlu kita kaji hingga sejauh mana penyebaran informasi visualnya berkembang.

Mulai sejak era Orde Baru, semua media diposisikan sebagai bagian dari ideological state apparatus, yang memiliki peran dalam proses mereproduksi serta menjaga stabilitas legitimasi rezim (Hidayat, 2000). Pemerintah kala itu sangat mengontrol pertumbuhan perusahaan pers, dengan membuat pagar tinggi berupa regulasi dan undang-undang yang sangat powerful hingga seluruh kalangan terhegomoni dan tunduk pada kekuasaan negara. Menurut Richard Robinson, kejayaan negara telah mencapai kekuatan pasar. “The triumph of the state over the market (Robinson & Hadiz, 2004).

Pewarta foto sendiri mulai melahirkan organisasi profesinya pada tahun 1998, setelah menangnya gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orba. Momen itu menjadi tonggak terbukanya keran kemerdekaan pers dan kebebasan berpendapat. Kebebasan dan perubahan kelembagaan ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan hilangnya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUPP.

Sejak reformasi, pemberitaan media massa mengalami perkembangan yang cukup menarik. Karya foto jurnalistik tak lagi hanya sekedar foto-foto indah dan normatif tentang cerita seremoni atau foto salaman Pak Harto. Tetapi foto menjadi cerminan realitas sosial yang secara berani mulai menampilkan fakta-fakta baru yang sebelumnya tabu diungkap. Foto berita sebagai produk media massa lebih leluasa memainkan perannya sebagai salah satu platform saluran opini publik atau penunjang mekanisme demokrasi (the fourth estate).

Kebebasan pers adalah perwujudan dari kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi (freedom of speech and freedom of expression) yang memiliki arti terhadap peningkatan kualitas pemerintah serta kecakapan dan kecerdasan masyarakat sendiri. Dengan press freedom, khalayak bisa mengetahui bermacam realitas yang terjadi, ataupun argumentasi yang acap saling bertentangan.

Seiring waktu, pewarta foto menampilkan visualisasi yang kerap menjadi rujukan publik untuk mengerucutkan opininya. Pada 9 November 2010, pewarta foto Kompas, Agus Susanto, berhasil mengabadikan sosok terpidana Gayus Tambunan yang sedang asyik nonton tenis di Nusa Dua Bali. Foto itu menjadi momentum kesepakatan publik untuk menyatukan opini, sehingga berhasil menjadi pressure bagi pemerintah. Mulai Kapolri Timur Pradopo hingga Presiden SBY mengeluarkan statement-nya. Walhasil Gayus serta kroni-kroninya dihukum berat.

Ada pula foto karya M. Irfan, pewarta foto Media Indonesia. Ia berhasil membidik anggota DPR dari Fraksi PKS yang asyik nonton film biru saat sidang paripurna. Foto headline di halaman satu itu berhasil membuat masyarakat ramai-ramai sepakat untuk melemparkan kritik pedas. Tak lama usai people power teresonansi, sang anggota dewan dipecat dan menanggung malu.

Dua kisah itu menjadi bukti jika foto jurnalistik dapat bertindak sebagai watch-dog yang menjadi sarana kontrol terhadap rezim kekuasaan. Kebiasaan baik ini sudah barang tentu wajib untuk selalu dipupuk dan dilestarikan. Ketika seorang foto jurnalis membidik kerusuhan, konflik, ataupun kejahatan, tidak lain hal itu merupakan fakta apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Saat mengungkap realitas “buruk”, bukan berarti seorang jurnalis setuju akan apa yang sedang terjadi. Dengan adanya foto-foto yang transparan terhadap berbagai keburukan yang terjadi, itu semua ditujukan agar publik tahu, mengerti, dan dapat bercermin. Dari sebuah foto jurnalistik, publik bisa belajar mana yang buruk serta kemudian memperbaiki dan melakukan evaluasi diri.

Namun, di era keterbukaan dan keberlimpahan informasi sekarang ini, tampaknya mulai banyak orang yang risih dengan maraknya jurnalisme foto yang mengungkap kebenaran dan realitas yang ada, utamanya bagi mereka yang kurang terbuka dalam menerima kritik. Kebebasan pers tentu menjadi sesuatu yang merugikan dan menggelisahkan bagi mereka.

Beberapa waktu lalu, seorang pewarta foto dari kantor berita lokal memotret anggota parlemen yang tertidur pulas. Ia mengirimkan foto itu dengan penuh keberanian dan integritas tinggi ke kantornya. Fotonya sempat disiarkan selama beberapa saat di kanal foto ternama itu. Namun, setelah kembali ditengok, foto tersebut lenyap tak berbekas. Usut punya usut, ada penguasa yang menghubungi gatekeepers agar segera men-take down foto “panas” itu. Dering ponsel pintar yang menanduk di saku pimpinan, secepat kilat diteruskan ke anak buahnya yang tak berdaya menerima keputusan “ajaib”.

Hal di atas tentu bisa mengebiri terpenuhinya hak masyarakat untuk memperoleh informasi (people’s right to know). Serta pers tidak lagi bebas seperti sejak era reformasi. Tampak ada intimidasi, hingga ancaman pada wartawan. Pewarta foto yang sama juga sempat mendapatkan telepon gelap berupa ancaman dan makian dari kasus yang berbeda. Sedikit demi sedikit pers mulai dilindas, diawasi, dan dieliminasi fungsi serta tugasnya. Jika kebebasan pers mengalami tekanan, informasi yang muncul di media massa bukan hanya tidak transparan, namun faktanya sudah pasti tidak lengkap (premature facts).

Senada dengan hal tersebut, pemberitaan media memang dipengaruhi oleh banyak hal. Merujuk teori Hirarki Pengaruh yang diperkenalkan Shoemaker & Reese (1996), isi dari media dipengaruhi oleh beberapa faktor yang luas dari dalam dan luar organisasi media. Isi berita kerap kali dipengaruhi oleh individu, rutinitas media, kebijakan organisasional, ekstra media, dan ideologi. Namun seyogianya independensi pemberitaan yang mewakili kepentingan publik tidak diganggu gugat untuk disiarkan. Jangan sampai keberlimpahan informasi di Indonesia menjadi kutukan untuk rakyat.

Akhirnya, kita semua mafhum jika demokrasi memang indah sebagai bunga tidur. Jika diibaratkan sebuah pohon, demokrasi perlu air, tanah, pupuk, dan sinar matahari yang pas. Jika tidak, pasti pohonnya akan layu atau mati tak berkembang. Namun jika beruntung tumbuh, bisa jadi buahnya pahit ataupun busuk.  Oleh karenanya, mulai sekarang kita semua wajib untuk menyediakan komposisi yang pas agar pohon demokrasi berhasil tumbuh berkembang, bisa menghasilkan oksigen untuk publik dan berbuah manis.

*Hendra Eka, pewarta foto di Depok