Ketika Laut Meninggalkan Nelayan Pulau Bangka

 Ketika Laut Meninggalkan Nelayan Pulau Bangkaoleh: Nopri Ismi

Selama ber abad-abad, provinsi Bangka Belitung terkenal dengan dua komoditi utamanya yakni lada dan timah, yang telah terkenal hingga ke tingkat internasional. Dua komoditi tersebut yang kemudian menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat maupun pemerintah daerah setempat. Akan tetapi dalam perjalanannya, kehadiran timah telah memberikan dampak buruk bagi kondisi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat Bangka dan Belitung. Hasilnya, ditahun 2020 WALHI mencatat setidaknya sekitar 1.053.253 hektar lahan di Bangka Belitung dalam kondisi kritis. Sekitar 64,12 persen dari luas daratan.

Tidak puas dengan rusaknya daratan Pulau Bangka, timah kini mulai merangsak masuk hingga ke lautan Pulau Bangka dan Belitung yang luasnya 6.530,100 hektar (80 persen dari total luas wilayah). Menurut IKPLHD Provinsi Kepulauan Babel tahun 2019, jumlah Nelayan terus berkurang dari 46.552 (2016) menjadi 42.642 (2017), dan terakhir di tahun 2020 menyisakan 39.942 Nelayan (DKP Prov. Babel), karena sebagian besar beralih menjadi penambang timah. Dampaknya, Produksi perikanan tangkap juga terus menurun pada tahun 2013 sebesar 208.019,70 ribu ton, menjadi sekitar 150.000 ton (2015), namun kembali naik menjadi sekitar 200.000 ton (2017) dan terakhir pada tahun  2019 menjadi 112.996 ton (DKP Prov. Babel).

Maraknya pertambang timah laut dapat tergambar dari Data WALHI 2019 yang menyebutkan menyebutkan ada 1.343 IUP pertambangan dan 298 IUP laut yang luasnya mencapai 595.381  hektar di Prov. Babel. Nelayan memang menjadi salah satu yang terdampak, tetapi lebih dari itu, biota laut lah yang paling merasakan dampaknya, ekosistem terumbu karang rusak, ditambah lagi kadar logam berat yang dihasilkan dari limbah pertambangan laut telah mencemari laut Pulau Bangka. Ikatan kuat antara laut dan manusia di Pulau Bangka perlahan semakin memudar.

Biota laut sensitif seperti Udang Mantis, Penyu dan sebagainya tentunya tidak sanggup bertahan dari perubahan tersebut. Kini, nelayan Pulau Bangka tengah berjuang untuk bertahan ditengah arus penambangan timah laut yang semakin tidak terbendung.

Nopri Ismi lahir di Desa Cambai, 26 November 1997. Lulusan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Raden Fatah Palembang ini kini bekerja sebagai Jurnalis di situs berita lingkungan Mongabay Indonesia. Nopri pernah tercatat sebagai Penerima Dana Hibah Liputan dari Earth Journalism Network dan Internews. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur pada Rumah Sriksetra, sebuah komunitas kreatif yang bergerak dibidang visual.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *